Dzikir Asmaul Husna untuk Wanita Berbadan Dua

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah mencantumkan dalam kitabnya yang mashur di kalangan masyarakat Muslim, Bulughul Marom, sebuah hadits yang statusnya Muttafaqqun ‘Alaih yang sangat sarat makna dan faedah di dalamnya. Hadits tersebut diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, 

Bahwasanya Rasulullah berkata, “Sesungguhnya milik Allah 99 nama, barang siapa yang mengahshonya maka pasti masuk surga.” (HR. Bukhory no. 2736, 7392, Muslim no. 6989)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah setelah menyampaikan hadits ini dalam Bulughul Marom Beliau mengatakan bahwa At Tirmidzi, Ibnu Hibban telah membawakan riwayat tentang nama-nama tersebut namun sebenarnya nama-nama tersebut statusnya adalah mudrodz/sisipan dari perowi dan bukan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini juga disetujui oleh Ibnu Hazm, Abu Bakar bin Al’Arobi (Ibnul Arobi), Ibnu Athiyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar dan para ulama lainnya bahkan hal ini dinilai sebagai ijma’ ulama hadits oleh Ash Shon’ani di Subulus Salam. Tambahan matan yang berstatus sebagai mudrodz dalam riwayat Tirmidzi adalah: 

“Sesungguhnya hanya milik Allah 99 nama (yang husna, pent.). Barangsiapa yang ihsho terhadap nama tersebut maka pasti akan masuk surga. Nama-nama Allah tersebut adalah: Allah yang tiada ilah yang benar disembah kecuali Dia. Al-Malik, Al-Quddus, As-Salam, Al-Mu’min, Al-Muhaimin, Al-Aziz, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir, Al-Khaliq, Al-Baari’, Al-Mushawwiru, Al-Ghaffar, Al-Qahhaar, Al-Wahaab, Ar-Razzaaq, Al-Fattah, Al-‘Alim, Al-Qaabidh, Al-Baasith, Al-Khaafidh, Ar-Raafi’, Al-Mu’izzu, Al-Mudzillu, As-Samii’, Al-Bashir, Al-Hakam, Al-‘Adlu, Al-Lathiif, Al-Khabiir, Al-Haliim, Al-‘Adzim, Al-Ghafur, Asy-Syakuur, Al-‘Aliyu, Al-Kabiir, Al-Hafidz, Al-Muqiit, Al-Hasiib, Al-Jalil, Al-Karim, Ar-Raqiib, Al-Mujiib, Al-Wasi’, Al-Hakiim, Al-Wadud, Al-Majiid, Al-Baa’its, Asy-Syahid, Al-Haqq, Al-Wakiil, Al-Qowiyy, Al-Matiin, Al-Waliy, Al-Hamiid, Al-Muhshi, Al-Mubdi’u, Al-Mu’iid, Al-Muhyi, Al-Mumiit, Al-Hayyu, Al-Qayyum, Al-Waajid, Al-Maajid, Al-Waahid, Ash-Shomad, Al-Qaadir, Al-Muqtadir, Al-Muqaddim, Al-Muakhir, Al-Awwal, Al-Akhir, Adh-Dhaahir, Al-Baathin, Al-Waaliy, Al-Muta’aliy, Al-Birr, At-Tawwaab, Al-Muntaqimu, Al-Afuwwu, Ar-Ra’uuf, Maalik, Al-Mulk, Dzul Dzalali wal Ikram, Al-Muqsith, Al-Jaami’, Al-Ghoniy, Al-Maani’u, Adh-Dhorru, An-Naafi’, An-Nuur, Al-Haadi, Al-Badii’u, Al-Baqii, Al-Warits, Ar-Rosyiid, Ash-Shobru.” (HR. Tirmidzi no. 3849, Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhoif Sunan At Ghorib, berkata Tirmidzi: “Dhoif jika dengan menceritakan nama Allah”). 

Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini: 

1. Bolehnya bersumpah dengan nama yang manapun dari nama-nama Allah yang husna/Asmaul Husna. Pendapat inilah dhahir pendapat Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah sebagaimana Beliau isyaratkan dengan meletakkan hadits ini sebagai hadits terakhir dalam kitabul aiman/sumpah. Berkata para ahli fikih: “Sumpah yang ada kafarotnya adalah sumpah dengan nama Allah subhanahu wa ta’ala, Ar-Rahman, Ar-Rahiim, ataupun dengan sifat dari sifat-sifat yang Allah subhanahu wa ta’ala miliki. Seperti sumpah dengan Demi Wajah Allah, Demi KeagunganNya.” Sehingga bersumpah dengan selain nama Allah ataupun sifat-sifatNya tidak ada kafarohnya melainkan termasuk dalam syirik yang pelakunya harus bertaubat sebelum meninggal dunia dan bukanlah hal ini menunjukkan bahwa hal ini adalah hal yang boleh ataupun hal yang sepele. 

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang hendak bersumpah maka hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah jika tidak maka diam.” (HR. Bukhory no. 6108, HR. Muslim no. 1646.)
Demikian juga sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan.” (HR. Tirmidzi no. 1535, HR. Abu Dawud no. 3251, HR. Al Hakim no. 7923. Hadist ini dishahih Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhoif Sunan Abu Dawud.) 

Hal ini termasuk syirik sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah karena bersumpah dengan selain nama-nama Allah merupakan bentuk penyetaraan antara Allah dan mahluk disamping hal itu tidaklah dilakukan kecuali dengan nama yang padanya ada pengagungan yang pada hakikatnya adalah milik Allah azza wa jalla semata. 

Berkata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Bersumpah dengan nama Allah dan aku berdusta atas sumpahku lebih aku cintai daripada bersumpah dengan nama selain Allah padahal aku jujur dengan sumpahku itu.” 

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan perkataan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut, “Karena hasanah/kebaikan yang ada pada tauhid itu lebih agung daripada hasanah/kebaikan yang ada kejujuran, dan kejelekan yang ada pada dusta lebih ringan daripada kejelekan yang ada pada kesyirikan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para ulama ahli hadits sepakat bahwasanya ta’yin/penentuan satu persatu nama-nama Allah azza wa jalla bukanlah hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.”

2. Abul Wafa’ Muhammad Darwis rahimahullah: “Nama-nama Allah shalallahu ‘alaihi wasallam jumlah banyak, diantaranya ada yang Allah turunkan dalam kitabNya, ada yang Allah ajarkan kepada NabiNya shalallahu ‘alaihi wasallam, ada yang Allah simpan dalam ilmuNya saja karena akal manusia tidaklah mampu mengetahui maknanya, kemuliannya. 

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah melalui jalan dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku meminta dengan seluruh nama yang Engkau miliki yang Engkau sebut Dirimu dengannya, yang Engkau ajarkan kepada salah satu mahlukmu, yang Engkau turunkan dalam kitabMu, yang Engkau simpan dalam ilmu sebagai hal yang ghaib di sisi.” (HR. Ahmad no. 3784, hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 1822, Maktabah Syamilah.)

3. An Nawawi Asy Syafi’I rahimahullah berkata, “Para ‘ulama sepakat bahwa hadits ini bukanlah pembatasan terhadap nama Allah subhanahu wa ta’ala dan bukanlah pembatasan bahwasanya tidak ada nama Allah azza wa jalla selain yang 99 nama tersebut. Sesungguhnya maksud hadits ini hanyalah nama Allah itu ada 99 yang barang siapa mengahsho’nya maka pasti masuk surga.” 

4. An Nawawi Asy Syafi’i berkata, “Yang dimaksud dengan mengahsho’nya adalah menghafalnya, beriman terhadapnya dan konsekwensi dari nama tersebut serta beramal dengan isi kandungan dari nama tersebut.”

5. Amirul Mu’minin fil Hadits Abu Abdillah Muhammad ‘Isma’il Al Bukhori berkata shahihnya: “Yang dimaksud dengan mengahsho’nya adalah menghafalnya.” Dan hal ini dikomentari oleh An Nawawi sebagai makna dhahir dari sabda Nabi.

6. Ibnu Baththol rahimahullah berkata, “Cara beramal dengan kandungan Asmaul Husna adalah dengan meneladani kandungan nama-nama Allah swt yang boleh/bisa untuk diteladani semisal Ar-Rahiim (Yang Maha Penyayang), Al-Karim (Yang Maha Dermawan). Maka hendaklah seorang hamba melatih dirinya untuk memiliki kandungan dari sifat-sifat Allah yang semacam itu akan tetapi tentu dengan kandungan yang layak bagi hamba. Adapun sifat Allah azza wa jalla yang khusus bagiNya semisal Al-Jabbar (Yang KehendakNya Pasti Menang), Al-Adziim (Yang Maha Agung) maka kewajiban seorang hamba adalah menetapkan adanya sifat tersebut bagi Allah subhanahu wa ta’ala, tunduk terhadapnya, dan tidak menghiasi dirinya dengan sifat tersebut. Sedangkan nama-nama Allah yang padanya ada makna janji maka kewajiban seorang hamba adalah menambatkan pada hatinya rasa harap terhadapnya, adapun apabila nama-nama tersebut padanya terkandung makna ancaman maka kewajiban seorang hamba adalah menjauhinya, menjaga diri darinya, menambatkan dalam hatinya rasa cemas dan takut yang disertai dengan ilmu.”

7. Tidak ada satu riwayat yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan secara rinci nama-nama tersebut demikian juga tentang berapa jumlah dari nama-nama tersebut, bahkan terjadi perselisihan yang besar diantara para ulama dalam masalah ini. Diantara para ulama yang melakukan penelitian secara khusus dalam masalah ini adalah Abul Wafa’ Muhammad Darwis rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Al Asma’ul Husna, demikaian juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Beliau Al Qowa’idul Mustla.

8. Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah dalm kitab Beliau yang berjudul Tauhidul Anbiya’ wal Mursalin: “Pengikut para Nabi dan Rasul mereka itu mengikuti seluruh sifat bagi Ar-Rahman yang termaktub dalam kitab Kitabul Ilahiyah (Allahu A’lam mungkin yang dimaksud dengan Kitabul Ilahiyah yaitu Al-Qur’an), yang telah shahih dari hadits-hadits Nabi. Mereka adalah orang-orang yang mengenal nama-nama tersebut, mereka adalah orang-orang yang akal dan hati mereka paham terhadap maknanya, serta mereka beribadah kepada Allah dengan nama-nama tersebut disertai dengan ilmu dan menyakini hal tersebut sebagai akidah. Mereka juga adalah orang-orang yang mengerti dan paham terhadap konsekuensi dari nama-nama tersebut. Hal ini merupakan keadaan hati mereka dan pengetahuan kerububiyahan yang berasal dari Allah.

9. Maka mereka ketika menyadari bahwa Allah mempunyai sifat yang Maha Agung, Yang Maha Sombong, Yang Maha Mulia maka penuhlah hati mereka dengan rasa takut dan mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala.

10. Demikian juga ketika mereka menyadari bahwa Allah azza wa jalla memiliki sifat Al-‘Izza, Al-Qudroh (Maha Kuasa) maka hati mereka akan merasa tunduk terhadapnya, dan merendahkan dirinya kepada Allah azza wa jalla.

11. Demikian juga jika dengan sifat Allah Ar-Rahmah, Al-Birr, Al-Wujud, Al-Karim maka hati mereka akan dipenuhi dengan perasaan penuh harapan dan tamak terhadap apa yang terkandung dalam sifat Allah tersebut, keutamaan-keutamaan dari Allah.

12. Hal yang hampir sama juga dengan sifat ilmu, pengetahuan yang meliputi segala sesuatu yang Allah miliki maka mereka akan merasa selalu diawasi oleh Allah dalam setiap gerak-gerik mereka ataupun diamnya mereka.

13. Dengan mengetahui makna-makna sifat-sifat Allah yang agung ini disertai dengan merealisasikannya maka diharapkan seorang hamba termasuk dalam hadits Nabi yang mulia: “Sesungguhnya milik Allah 99 nama, barang siapa yang mengahsho’nya maka pasti masuk surga.” 

14. Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Maka yang dimaksud dengan ahsho’ adalah dengan memahami asma Allah, memikirkannya, mengenalnya dan beribadah kepada Allah ta’ala dengannya.”

Maka marilah kita giat dalam mempelajari asma dan sifat Allah subhanahu wa ta’ala sehingga kita dapat merealisasikan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang mulia ini.

Asmaul Husna artinya nama-nama yang baik, nama-nama yang bagus untuk Allah. Jumlahnya ada 99 nama. Bagi wanita hamil, memperbanyak amalan ibadah harian dan merutinkannya akan memberikan ketenangan bagi ibu dan janin. Alangkah bagusnya jika wanita hamil merutinkan amalan melafalkan Asmaul Husna dalam dzikir hariannya. 

Di bawah ini akan diterangkan maksud atau pengertian yang terkandung di masing-masing nama. Dalam hadis Gharib/Hasan yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Ibnu Hibban, 99 nama Allah adalah sebagai berikut: 


(1) Ar-Rahman (Maha Pemurah)

Ar-Rahman mengandung arti yang memberikan rahmat kepada seluruh makhlukNya dengan tidak pilih kasih, dengan tidak membedakaan antara makhluk yang berakal atau tidak, yang beriman atau yang kafir, tetapi rahmat yang dikasihkan ialah rahmat yang kecil seperti hidup, kesehatan, kekayaan dan lain-lain.

Dari namaNya Ar-Rahman, maka rahmatNya menghalangiNya untuk membiarkan hambaNya begitu saja, tidak mengenalkan mereka apa yang dapat digunakan untuk memperoleh kesempurnaan (sebagai hamba). Maka nama ini menyiratkan adanya pengutusan para rasul, dan turunnya kitab-kitab, karena nama ini tidak hanya sekedar menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan mengeluarkan biji-bijian, nama ini tidak sekedar mewujudkan tubuh atau jasad tetapi lebih terwujudnya kehidupan hati atau ruh seorang hamba.
Di dalam surah Al-Baqarah: 163,



Artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163)

Sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah belas kasih terhadap orang yang mengasihi.”

Wujud Ar-RahmanNya: 

  • Rahmat yang agung dan paling besar adalah wahyu Allah Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw di dalam surah An-Nahl: 89.
  • Taurat kepada Nabi Musa as, di dalam surah Al-A’raaf: 154.
  • Ilmu, di dalam surah Al-Kahfi: 65.
  • Rahmat yang diberikan Allah kepada orang-orang mu’min yaitu dihindarkan dari siksa yang akan menimpa orang-orang kafir, di dalam surah Huud: 58, dan surah Huud: 94.
  • Turunya hujan, tanaman, air, beragam suku bangsa, dan lain-lain. Di dalam surah Ar-Ruum: 50.
  • Membaca Al-Qur’an, di dalam surah Al-A’raaf: 204.
Dengan sifat rahmanNya, Dia menciptakan manusia dari sebuah janin yang kemudian ditiupkan ruh/nyawa ke dalam janin tersebut sehingga bisa menikmati kehidupan di bumi.


(2) Ar-Rahiim (Maha Penyayang)

Ar-Rahiim berarti Allah memberikan rahmat-rahmat besar, rahmat yang tidak ternilai dengan seluruh harta dan kekayaan, rahmat yang kekal dan abadi, bukan rahmat yang kecil melainkan rahmat yang agung berupa keimanan atau agama yang benar, ilmu yang benar berupakan jalan yang lurus (Shiratal Mustaqim), perasaan bahagia yang sumbernya dari iman, perasaan cinta terhadap Allah, rasul-rasul dan ajaran-ajarannya, dan rahmat yang paling besar yaitu surga Jannatun Na’iim dan lain-lain rahmat besar yang abadi dalam kehidupan akhirat. Ar-Rahiim artinya pelaku rahmat yang sangat penyayang kepada orang yang beriman, yang memberikan rahmat secara khusus kepada orang beriman di akhirat (khusus bagi orang muslim).

Di dalam surah Asy-Syuaraa’: 191, “Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dia lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”

Wujud Ar-RahiimNya: 
  • Allah adalah Dzat yang paling mengasihi, di dalam surah Al-A’raaf: 151.
  • Allah adalah sebaik-baiknya penjaga dan penyayang, di dalam surah Yusuf: 64.
  • Allah adalah sebaik-baik Dzat yang merahmati, di dalam surah Al-Mu’minun: 109 dan Al-Mu’minun: 118.
  • Allah adalah pemilik rahmat yang sebenarnya dan sangat luas, di dalam surah Al-An’am: 133, surah Al-An’am: 147, dan surah Al-Kahfi: 58.
Allah swt mencurahkan rasa sayang kepada hambaNya melalui orangtua. Bagi ibu yang sedang hamil, rasa sayang yang diberikan kepada janinnya berasal dari Allah swt. Ibu menjadi perantara.


(3) Al-Malik (Maha Raja)

Berarti yang memiliki segala-segalanya. Memiliki dengan pengertian milik 100% bukan karena dibeli atau mendapat hadiah, tetapi diciptakanNya, dikendalikanNya, diaturNya segala yang ada atau alam ini seluruhnya, menurut sekedakNya, memiliki segala-segalanya.

Allah adalah dzat yang merajai dan menguasai semua makhlukNya. Semua yang ada dijagat raya ini adalah makhluk ciptaanNya. Karena hanya Allah Maha Kuasa.

Di dalam surah Al-Ma’idah: 17, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam.” Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika dia hendak membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?” Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Menurut hadist, Nabi Khidhir as mengajarkan do’a sebagai berikut: “Ya Allah, Engkau adalah Maha Raja, Maha Benar, tidak ada Tuhan selain Engkau. Ya Allah Yang Maha Menyelamatkan Yang Maha Menyembuhkan.” 

Wujud Al-MalikNya: 

Kekuasaan Allah atas kapan datanngnya kematian kita di tanganNya, di dalam surah Ali-’Imran: 185.
Rahasia kapan datangnya hari kiamat, di dalam surah Al-An’am: 73.
Kekuasaan Allah menghilangkan dan menghancurkan semua yang hidup, di dalam surah Az-Zumar: 67.
Raja hari kiamat, di dalam surah Ghofir: 40.
Allah menggantikan langit dan bumi dengan langit dan bumi yang lain, di dalam surah Ibrahim: 48.


(4) Al-Quddus (Maha Suci)

Berarti Allah bersih dari segala sifat kekurangan. Al-Quddus artinya Dzat yang Maha suci dan semua sifat yang ditangkap oleh panca indra, digambarkan dalam khayalan, dugaan, dan apa yang terlintas dalam hati dan pikiran.

Di dalam surah Al-Baqarah: 87, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?”

Wujud Al-QuddusNya: 
  • Mensucikan (bertasbih) Allah adalah bentuk ibadah yang paling agung, di dalam surah AI-Baqarah: 30.
  • Allah adalah raja kesucian, di dalam surah Jumu’ah: 1, dan Al-Hasyr: 23.
  • Burung-burung sembahyang, dan bertasbih dengan cara mengembangkan sayapnya, di dalam surah An-Nur: 41.
  • Gunung-gunung dan burung-burung bertasbih bersama nabi Dawud as di waktu petang dan pagi, di dalam surah Shaad: 18.
  • Dzat Allah berhak untuk disucikan karena kesempurnaan Dzat dan sifatNya, Allah tidak berhak dinisbatkan dengan kepada sifat yang menunjukan kekurangan, misalnya dinisbatkan mempunyai anak dan sekutu, di dalam surah Al-Ikhlas: 1-4.

(5) As-Salam (Maha Penyelamat)
Berarti Allah lah yang memegang keselamatan seluruh alam atau yang menyelamatkan alam ini seluruhnya. Dan berarti Ia sendiri selamat dari segala cacat atau kekurangan.

As-Salam artinya Tuhan yang DzatNya selamat dari segala cacat dan cela, selamat sifat-sifatNya dari segala kekurangan, serta selamat perbuatanNya dari segala kejelekan dan keburukan. Allah swt Maha Pemberi Keselamatan. Hanya Allah swt yang dapat memberi keselamatan pada makhluknya.

Di dalam surah Yasin: 58, “(Kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.”

Dalam do’anya Nabi saw bersabda, “Wahai Allah, engkaulah pemberi keselamatan, dari-Mu keselamatan, kepada-Mu kembali keselamatan, bertambahlah kebaikan-Mu dan Maha Luhur wahai Engkau Dzat Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan.”

Wujud Al-SalamNya: 

  • Allah menyelamatkan dari sifat-sifat tercela; khianat, iri, dengki dendam, menghendaki kejelekan kepada orang lain, dan sifat lainnya.
  • Allah menyelamatkan anggota badannya dari dosa dan perbuatan haram.
  • Allah menyelamatkan akalnya dari dari hal-hal yang merusaknya, serta selamat jiwanya dari nafsu syahwat dan kemarahannya.
  • Allah memberikan keselamatan bagi hambaNya yang mau mengikiti petunjuk, di dalam surah Thaahaa: 47-48 dan Al-An’am: 125.
  • Allah akan memberikan keselamatan bagi setiap hambaNya sesuai dengan perbuatan masing-masing, di dalam surah Al-Israa’: 15.
  • Allah menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari panasnya api yang membakar beliau, di dalam surah Huud: 69.
  • Allah memberikan selamat dan balasan surga kepada orang yang bersabar, di dalam surah Al-Furqon: 75.

(6) Al-Mu’min (Maha Menjaga/Mengamankan)

Al-Mu’min mempunyai dua arti, yaitu mempercayai dan mengamankan. Berarti Allah mempercayai akan semua rasul-rasulNya. Dan berarti Allah yang mengamankan seluruh makhlukNya dari segala bahaya dan kerusakan.

Al-Mu’min artinya Allah adalah Dzat yang kepadaNya dinisbatkan segala keamanan dan kesentosaan dengan memberikan sebab-sebabnya dan menutupi jalan hal-hal yang ditakutkan. Allah adalah Al-Mu’min yang mutlak, karena hanya kepadaNya lah keamanan dapat diraih dan Dia adalah pencipta keamanan, baik di dunia maupun di akhirat.

Al-Mu’min secara bahasa berasal dari kata amina yang berarti pembenaran, ketenangan hati, dan aman. Al-Mu’min artinya Dia Maha Pemberi rasa aman kepada semua makhlukNya, terutama kepada manusia. Dengan begitu, hati manusia menjadi tenang. Kehidupan ini penuh dengan berbagai permasalahan, tantangan, dan cobaan. Jika bukan karena Allah swt yang memberikan rasa aman dalam hati, niscaya kita akan senantiasa gelisah, takut, dan cemas. 

Perhatikan firman Allah swt berikut, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencapuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’nam: 82)

Ketika kita akan menyeru dan berdo’a kepada Allah swt dengan namaNya Al-Mu’min, berarti kita memohon diberikan keamanan, dihindarkan dari fitnah, bencana dan siksa. Karena Dia lah Yang Maha Memberi Keamanan, Dia Yang Maha Pengaman. Dalam nama Al-Mu’min terdapat kekuatan yang dahsyat dan luar biasa. Ada pertolongan dan perlindungan, ada jaminan (insurense), dan bala bantuan.

Berdzikir dengan nama Allah swt Al-Mu’min, disamping menumbuhkan dan memperkuat keyakinan dan keimanan kita, bahwa keamanan dan rasa aman yang dirasakan manusia sebagai makhluk adalah suatu rahmat dan karunia yang diberikan dari sisi Allah swt. Sebagai Al-Mu’min, yaitu Tuhan Yang Maha Pemberi Rasa Aman juga terkandung pengertian bahwa sebagai hamba yang beriman, seorang mukmin dituntut mampu menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan rasa aman terhadap lingkungannya.

Mengamalkan dan meneladani Al-Mu’min, artinya bahwa seorang yang beriman harus menjadikan orang di sekelilingnya aman dari gangguan lidah dan tangannya. Berkaitan dengan itu, Rasulullah bersabda, “‘Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman.’ Para sahabat bertanya, ‘Siapa ya Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Orang yang tangannya merasa tidak aman dari gangguannya.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam surah Hasyr: 23,



“Dia lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Di dalam surah Quraisy: 4, “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

Wujud Al-Mu’minNya: 
  • Allah memberikan rasa aman bagi hambaNya yang tidak mencampurkan iman mereka dengan syirik, di dalam surah Al-An’Am: 82.
  • Allah memberikan rasa aman ketika kita menghadapi masalah tetapi tetap bersikap “yakin dan optimis”.
  • Siapa pun orang yang menjalani hidup sesuai dengan petunjuk Allah dan RasulNya maka ia akan dapatkan rasa aman di dunia dan akhirat, di dalam surah Al-An’am: 82.
  • Allah memberikan rasa aman kepada para hambaNya yang mu’min dan shalih dengan cara mengutus malaikat untuk memberikan rasa aman dan menentramkan hati mereka, di dalam surah Fushshilat: 30-31.
  • Allah memberikan rasa aman bagi hambaNya yang mengesakanNya, di dalam surah A-Naml: 89 dan surah Al-Anbiya’: 103.

(7) Al-Muhaimin (Maha Pemelihara)

Berarti Allah mengamati segala makhlukNya dengan pengamatan yang sangat teliti sekali, dan berarti pula Allah memelihara makhlukNya dengan sangat teliti sekali, tanpa pemeliharaan Allah, mustahil alam ini akan berdiri lama.

Al-Muhaimin artinya Allah adalah Dzat yang mengerjakan penciptaan makhluknya, amal perbuatan mereka, riezeki dan kematian mereka. Allah mengurusi mereka dengan penglihatan, kekuasaan dan penjagaanNya. Dan tidak ada yang bisa melakukan semua itu secara sempurna dan muthlaq kecuali Allah.

Di dalam surah Hasyr: 23




“Dia lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Wujud Al-MuhaiminNya: 
  • Allah menjaga siapa yang mentaatiNya dan RasulNya dan tidak menjaga bagi yang berpaling, di dalam surah An-Nisaa’: 80.
  • Allah memiliki dan menjaga apa yang di langit dan di bumi, di dalam surah An-Nisaa’: 123.
  • Allah menjga hambaNya yang bertawakkal, di dalam surah Al-Ahzab: 3.
  • Allah melihat dan mengetahui segalanya tentang makhlukNya, tanpa satu pun yang tertutupi, seperti saat membaca Al-Qur’an, di dalam surah Yunus: 61.
  • Dalam sebuah hadist disebutkan: “Sesungguhnya Allah membentangkan tiga buku untuk setiap gerak-gerik seorang hamba walaupun sekecil apa pun. Buku pertama tentang ‘Mengapa?’. Buku kedua tentang ‘Bagaimana?’. Dan buku ketiga tentang ‘Untuk Siapa?’.” Makna hadist ini adalah, ketika seorang hamba melakukan suatu perbuatan, maka ia akan ditanya tentang tiga hal, yakni: mengapa kamu mengerjakan ini, apakah ia untuk Tuhanmu atau karena kecenderungan nafsu keinginanmu? Jika ia selamat dari pertanyaan pertama ini dan ia melakukan itu karena Tuhannya, maka ia akan ditanya pertanyaan kedua. Bagaimana kamu mengerjakannya, apakah dengan ilmu atau dengan kebohongan dan prasangka? Jika ia selamat dari pertanyaan kedua dan ia melakukan itu dengan ilmu pengetahuan, maka dibentangkan buku yang ketiga. Untuk siapa kamu melakukan itu karena mengharap ridha Allah, maka Allah akan meridhainya. Dan jika ia melakukannya karena dunia, maka itulah yang akan diterimanya.


(8) Al-Aziz (Maha Perkasa)

Yang gagah perkasa, dapat menaklukkan apa dan siapapun, termasuk memusnakan alam seluruhnya. Al-Aziz artinya Dzat yang tidak bisa dikalahkan dan tidak bisa dicegah, tidak ada tandingannya Yang Maha Kuasa dan Kuat.

Al-Aziz berarti Allah swt Maha Perkasa. Dia dapat berbuat sesuai dengan kehendaknya. Allah swt berfirman sebagai berikut, “Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Ankabut: 42)

Di dalam surah Al-Ahzab: 25, “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

Di dalam surah Al-Baqarah: 260, “Allah berfirman, “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Di dalam surah Al-Maaidah: 118, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Wujud Al-AzizNya: 
  • Kemenangan peperangan umat islam yang berjumlah 300 melawan 3000 orang kafir, di dalam surah Ali-’Imran: 13.
  • Allah perkasa atas kehendak menghancurkan jagat raya ini karena perbuatan manusia, di dalam surah Ar-Ruum: 41.
  • Allah adalah pemilik tunggal segala kemuliaan, Dia memberikan kemuliaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, di dalam surah Al-Ahzab: 25.
  • Rahasia agung kekuatan ghaib yang lebih diketahui oleh Allah di dalam surah As-Sajadah: 6.


(9) Al-Jabbar (Maha Kuasa)

Yang sanggup memaksa makhlukNya menurut kehendak (kemauan)Nya. Al-Jabbar artinya Allah adalah Dzat yang dapat melaksanakan keinginan dan kehendakNya dengan jalan memaksa kepada setiap orang, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegah keinginanNya. Semuanya ada dalam kekuasaanNya, dan tidak ada kemampuan manapun yang sanggup melanggar laranganNya.

Di dalam surah Hasyr: 23, “Dia lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang Memiliki Segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Di dalam surah Maryam: 14,


“Dan seorang yang banyak berbakti kepada kedua orangtuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.”

Wujud Al-JabbarNya: 
  • Segala sesuatu yang Allah perintahkan dan kehendaki maka akan terjadi seperti yang Dia kehendaki, di dalam surah Yasin: 82.
  • Semua makhluk tunduk dan patuh padaNya, seluruh isi langit dan bumi, di dalam surah Ali-’Imran: 83.
  • Allah Maha kuasa memberikan menentukan peraturan, perintah dan larangan, di dalam surah A-A’raaf: 54.
  • Allah berkuasa atas hidup dan mati seseorang, di dalam surah Ali-’Imran: 185.

(10) Al-Mutakabbir (Maha Megah)

Berarti Allah mempunyai macam kekuasaan, kebesaran, dan kesombongan, hanya Allah saja yang berhak untuk bersombong diri, karena Allah sangat murka terhadap manusia yang sombong dan hanya Allah saja yang pantas bersombong diri.

Al-Mutakabbir artinya Dzat yang memandang yang lainnya dengan pandangan hina dibandingkan diriNya, dan tidak ada keagungan, kebesaran dan kesombongan kecuali pada diriNya. Tiada yang berhak dan pantas menyombongkan diri kecuali hanya Allah semata karena Dia lah tuhan semesta alam yang kepadaNya tunduk segala sesuatu.

Di dalam surah Hasyr: 23, “Dia lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang Memiliki Segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Di dalam surah Al-Jaatsiyah: 36-37,


“Maka bagi Allah lah segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan semesta alam. Dan bagiNya lah keagungan di langit dan di bumi, Dia lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Rasulullah saw bersabda, “Keberkahan itu bersama orang-orang besar diantara kamu.” (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim)

Wujud Al-MutakabbirNya: 

Rasa semangat, kemauan dan kerja keras kita.
Kesejahteraan yang melimpah, ilmu, jabatan, dan kedudukan.


(11) Al-Khaliq (Maha Pencipta)

Berarti yang mencipta. Segala yang ada ini sebelumnya tidak ada, dan Allah lah yang mengadakan atau menciptakan segala yang ada ini. Manusia bagaimana juga pintarnya, tidak sanggup menciptakan suatu yang tidak ada menjadi ada.

Dia lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Al-Khaliq secara bahasa berasal dari kata khalq atau khalaqa yang berarti mengukur atau memperhalus. Kemudian, makna ini berkembang dengan arti menciptakan tanpa contoh sebelumnya. Kata khalaqa dalam berbagai bentuknya memberikan penekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaanNya. (QS. Ar-Ruum: 20-25)

Allah Al-Khaliq, artinya Allah pencipta semua makhluk dan segala sesuatu. Malaikat, jin, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, matahari, bulan, bintang, dan segala yang ada di alam ini diciptakan oleh Allah. Allah menciptakan setiap makhluk secara sempurna dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dengan ukuran yang paling tepat. Al-Qur’an menegaskan, “Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.” (QS. As-Sajdah: 7)

Dalam ayat lain ditegaskan, “Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)


(12) Al-Baari’u (Maha Megadakan)

Nama Allah, Al-Baari’u bermakna yang merencanakan segala sesuatu sebelum menciptakannya. Allah merencanakan dan pelaksana segala kejadian apa saja. Al-Baari’u artinya yang menciptakan makhluk tanpa meniru. Akan tetapi lafal ini lebih memiliki kekhususan pada (penciptaan) makhluk-makhluk hidup, tidak pada makhluk-makhluk yang lain. Lafal ini jarang sekali dipakai pada (penciptaan) selain makhluk hidup.

“Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.” (QS. An Nahl: 79) 

Allah yang Maha Membebaskan, demikian arti kata Al-Baari’u. Tapi arti lain terkandung dalam kata yang sama, Maha Membentuk, Maha Membuat dan Maha Menyeimbangkan.

Maha Besar Allah, yang menciptakan sesuatu dari tiada, bahkan dari hampa. Kemudian mengurai kembali menjadi tak ada. Sungguh, bagi siapapun yang memikirkan proses penciptaan, tak ada kata lain selain kalimat tasbih. Dia yang menciptakan, lalu kepada manusia diberi kebebasan, untuk memilih satu dari dua jalan. Jalan takwa yang menjanjikan surga. Atau jalur fujur yang terasa nikmat, tapi sesungguhnya penuh dengan bencana dan laknat. Tapi, seringkali kita lupa untuk selalu meminta kepadaNya. Kita sering menganggap ada dzat lain selain Dia yang mampu membebaskan manusia, entah dari kesulitan atau kesempitan.

Yaa baari’u abri’naa minasy syirki wal maradhi wal fitnati. Ya Allah, Tuhan yang Maha Membebaskan. Bebaskan kami dari kesyirikan. Bebaskan kami dari segala penyakit. Bebaskan kami dari fitnah keji yang akan menimpa.


(13) Al-Mushawwir (Maha Menciptakan Segala Bentuk dan Rupa)

Yang menciptakan segala bentuk dan rupa. Yang menentukan bentuk langit dan bumi, bentuk manusia, binatang dan lain-lain. Semua bentuk yang diciptakan Allah itu indah, sehingga kita tak bosan melihatnya.

“Dia lah Allah Pencipta, Pencipta, Maha Membentuk Rupa, yang mempunyai Asmaul Husna; apa yang ada di langit dan bumi menyatakan kemuliaanNya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hasyr: 24) 

Al-Mushawwir (membentuk itu) mengacu pada memberikan bentuk pada setiap ciptaanNya. Maka Allah menciptakan apa yang Dia putuskan, membawa ke dalam keberadaan, dan menentukan bentuk unik yang ditentukanNya. Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan bentuk setiap hal yang diciptakan menurut, pengetahuanNya hikmat dan pengampunan. Dia memberikan setiap hal bentuk ini memiliki tanpa membutuhkan model yang sudah ada sebelumnya. Secara aktif, Tuhan mencetak segala sesuatu dan membentuknya seraya ciptaanNya menempuh segala tahap dalam proses perkembangannya.


(14) Al-Ghaffar (Maha Pengampun)

Artinya yang amat suka memberi ampunan atau maaf. Seorang manusia yang bagaimana juga nakal dan jahatnya bagaimana juga banyak dosanya, sekalipun sudah membunuh 100 manusia, mempunyai dosa yang memenuhi ruang antara bumi dan langit, bila minta ampun atau taubat, Allah akan memberi ampunan dan taubat kepadanya. Allah sangat suka terhadap orang yang minta ampun dan bertaubat.

Al-Qur’an menyebut kata ghaffar sebanyak lima kali, tiga kali berdiri sendiri, sedang dua kali lainnya dirangkai setelah penyebutan sifat dan nama Indah lainnya, yaitu Al-Aziz. “Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas maghfirahNya.” (QS. At-Taubah: 117)

Al-Ghaffar berasal dari fi’il madhi ghafara, yang berarti menutupi. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kata itu terambil dari kata alghafaru yang berarti sejenis tumbuhan yang digunakan untuk mengobati luka. Jika kita mengambil makna yang pertama, maka Al-Ghaffar berarti Allah menutupi dosa hamba-hambaNya karena kemurahan dan keluasan ampunanNya. Adapun jika kita memaknai dengan kata yang kedua, berarti Allah menganugerahkan sifat penyesalan kepada hamba-hambaNya sehingga bisa menjadi obat penawar sekaligus penghapusan dosa.

Adalah Al-Ghaffar pula yang menutupi bisikan hati dan kehendak-kehendak kotor yang tersembunyi. Seandainya niat kotor, kemauan jahat, niat menipu, prasangka buruk, iri hati, dan kesombongan itu terkuak ke permukaan dan diketahui semua orang, sungguh manusia akan mengalami berbagai kesulitan hidup. Jika yang terbetik dalam hati manusia tampak secara telanjang, sungguh masing-masing kita tidak ada yang saling percaya. Isteri tidak percaya kepada suami, anak tidak percaya kepada orangtua, rakyat tidak percaya kepada pemimpinnya. Begitu juga sebaliknya.

Dia, Al-Ghaffar bahkan tetap menutupi sekian banyak salah dan dosa yang telah dilakukan manusia, baik yang dilakukan secara tidak sengaja maupun yang disengaja. Segala aib tetap ditutupi oleh Allah. Itulah sebabnya Dia sangat marah kepada orang yang malam harinya berbuat dosa, sementara di siang harinya ia sebarkan perbuatan dosanya kepada orang lain. Andaikata ia segera menyesal dan bertaubat, pintu ampuanNya segera dibuka. SiksaNya tidak meliputi orang-orang yang bertaubat.

Al-Ghaffar senantiasa menyambut hambaNya yang tulus meminta ampunan, sebesar apapun dosa yang disandangnya. Dia berfirman, “Sampaikan kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, ‘Janganlah berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa, Dia lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53)

Dalam hadits qudsy riwayat At-Tirmidzi, sahabat Anas ra berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Wahai keturunan Adam, selama engkau berdo’a kepadaKu dan mengharapkan ampunanKu, Aku ampuni untukmu apa yang telah engkau lakukan di masa lampau dan Aku tidak peduli (betapa banyak dosamu). Wahai keturunan Adam, sekiranya dosa-dosamu telah mencapai ketinggian langit, kemudian engkau memohon ampunanKu, Aku ampuni untukmu. Seandainya engkau datang menemuiKu membawa seluas wadah bumi ini dosa-dosa dan engkau datang menjumpaiKu dengan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan membawa pengampunan seluas wadah itu.”

Sebagai hamba Allah, kita dituntut memiliki atau meneladani sifat indah Al-Ghaffar itu, sebagaimana firmanNya: “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar ia memaafkan orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah.” (QS. Al-Jatsiyah: 14)

Allah juga berfirman, “Siapa yang bersabar dan menutupi (memaafkan) kesalahan orang lain, maka sungguh hal demikian termasuk yang diutamakan.” (QS. Asy-Syuura: 43) 


(15) Al-Qahhar (Maha Penakluk)

Artinya yang dapat memaksa makhlukNya sebagaimana Ia kehendaki. “Katakanlah, ‘Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia Tuhan Yang Maha Esa, Maha Penakluk.’” (QS. Ar-Ra’d: 16)

Al-Qahhar secara bahasa berasal dari kata qahara yang berarti menundukkan untuk mencapai tujuan, mencegah lawan dari mencapai tujuan, serta merendahkannya.

Allah Al-Qahhar, artinya Allah Maha Menundukkan segala yang ada di alam ini. Allah lah yang menundukkan matahari, bumi, dan planet lainnya. Semuanya beredar di garis edarnya masing-masing. Allah pula yang menundukkan laut sehingga manusia dapat berlayar.

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu, dan bintang-bintang yang dikendalikan dengan perintahNya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 12)

Allah juga menundukkan orang-orang yang menentangNya dengan bukti-bukti keesaanNya, dan menaklukkan seluruh makhluk dengan mencabut nyawanya. Imam Al Ghazali berkata, “Al-Qahhar ialah Dzat yang menimpakan bencana kepada musuh-musuhNya dengan kematian dan kehinaan; bahkan tidak ada yang maujud kecuali semuanya berada di bawah kekuasaan dan qudratNya, lemah dalam genggamanNya.”

“Dan Dia lah yang berkuasa terhadap hamba-hambaNya. Dan Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 18)

“Dia lah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. Az-Zumar: 4)

“Katakanlah (ya Muhammad), ‘Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.” (QS. Shaad: 65)
Siapa yang menundukkan semua itu kalau bukan Allah Al-Qahhar? Karenanya, manusia yang sadar akan hal itu pasti berucap sebagaimana yang telah diajarkanNya.

“Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya.” (QS. Az-Zukhruf: 13)

Demikian makna Al-Qahhar. Sekarang, bagaimana bentuk meneladani nama dan sifat Allah Al-Qahhar? Meneladani nama dan sifat Allah Al-Qahhar berarti kita harus mampu menundukkan hawa nafsu kita dan mengendalikannya. Sebab, hawa nafsu selalu menghalangi kita dari beribadah kepada Allah. Sedangkan, tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di bumi. Oleh karena itu, kita harus mampu menundukkan hal-hal yang dapat menghalangi tercapainya tujuan penciptaan kita, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan memakmurkan bumi sebagai khalifah. 


(16) Al-Wahhab (Maha Pemberi)

Yang amat banyak dan tak terhingga pemberianNya, gampang memberi bila dimintai. Al-Wahhab artinya Maha Pemberi. Allah swt memberi sesuatu yang dibutuhkan hambaNya. Dia memberikan karunia kepada seluruh makhlukNya. Manusia hendaknya bersyukur terhadap karunia yang telah diberikanNya dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tidak sepantasnya manusia merusak atau kufur terhadap karuniaNya. Allah swt berfirman, “(Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisimu, sesungguhnya engkau Maha Pemberi.” (QS. Ali-’Imran (3) ayat 8)

Makna lafal ‘Al-Wahhab’ menekankan bahwa pada hakikatnya tidak mungkin tergambar dalam benak, mengenai adanya yang memberi, siapapun yang membutuhkannya tanpa mengharapkan imbalan atau tujuan duniawi atau ukhrawi, kecuali Allah swt. Karena siapa yang memberi disertai dengan tujuan duniawi atau ukhrawi, baik tujuan itu berupa pujian, meraih persahabatan, menghindari celaan atau mendapatkan kehormatan, dia bukanlah ‘Wahhab’. Makhluk tidak mungkin memberi secara berkesinambungan sedang Allah dapat memberi secara berkesinambungan dan tanpa batas.

Al-Qur’an menyebut Al-Wahhab yang semua menunjuk kepada sifat Allah. Dari tiga ayat yang ada, hanya satu yang dirangkai dengan nama Allah yang lain, yaitu Al-Aziz (Maha Perkasa) sebagaimana yang terdapat dalam surah Shaad ayat 9, sedangkan dua lainnya berdiri sendiri. Al-Wahhab merupakan nama Allah yang berarti Maha Memberi. Dia memberikan rahmat kepada makhlukNya tanpa pamrih, karena Dia tak membutuhkan apapun dari makhlukNya.

Keagungan dan kebesaranNya tak berkurang sedikitpun juga jika sekiranya semua manusia ingkar kepadaNya. Demikian juga sebaliknya, kewibawaan dan kemuliaanNya tak bertambah sedikitpun juga jika sekirinya semua manusia tunduk patuh kepadaNya. Dia tak membutuhkan ucapan terima kasih, tak juga tepuk tangan atas semua kebaikanNya.

Tak sekadar bebas dari pamrih, Dia juga senantiasa memenuhi kebutuhan makhlukNya tanpa diminta. Dia memberikan udara segar setiap hari walaupun kebanyakan manusia tidak memintanya. Dia juga menurunkan hujan, walaupun manusia tidak berdo’a untuknya. Sinar matahari dicurahkan setiap hari, walaupun banyak manusia tidak menyadarinya. Siapakah yang menyediakan air, udara, dan energi? Tanpa diminta, Allah telah menyiapkannya.

Hanya Dia yang pantas menyandang nama Al-Wahhab, sebab semua manusia senantiasa mengharapkan imbalan ketika bekerja, apalagi ketika memberi sesuatu kepada sesamanya. Ada tujuan yang ingin diraih di balik kerja kerasnya, baik yang bersifat materi maupun yang berbentuk spiritual, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Itulah sebabnya, ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang Al-Wahhab, ia berkomentar bahwa hanya Allah saja yang patut menyandang sifat itu. Ia berkata, pada hakekatnya tidak ada pemberian tanpa tujuan dan harapan, kecuali Allah. Setiap manusia pasti berpengharapan atas semua perbuatannya, baik dalam bentuk pujian, meraih persahabatan, mendapatkan kehormatan, atau paling tidak menghindari celaan.

Seseorang ‘abid yang senantiasa melazimkan ibadah juga tak lepas dari pamrih untuk mendapatkan surga atau terhindar dari neraka. Bahkan seorang alim yang beribadah demi meraih cinta dan syukur kepadaNya belum sepenuhnya terhindar dari tujuan-tujuan atau harapan meraih imbalan. Itulah sebabnya, Allah tetap memberi toleransi kepada manusia sepanjang mereka tetap dalam koridor ibadah yang ikhlas semata karena Allah swt. Dia membolehkan manusia beribadah karena mengharapkan surgaNya atau terhindar dari nerakaNya, karena memang hanya sampai di situ batas kemampuan manusia.

Hanya Allah saja yang bisa memberi tanpa pamrih, sebab hanya Dia yang tidak membutuhkan apapun dari makhlukNya. Karenanya, hanya Dia lah yang pantas menyandang nama Al-Wahhab, Maha Pemberi tanpa mengharap Puji, Maha Pemberi tanpa pamrih, Maha Pemberi tanpa menagih.


(17) Ar-Razzaaq (Maha Pemberi Rezeki)

Yang banyak memberi dan melengkapi semua kebutuhan hidup dari seluruh makhlukNya. Yang memegang komando tertinggi dalam pembagian rezeki terhadap masing-masing manusia atau makhluk.

Ar-Razzaaq menunjuk kepada Dzat yang memberi rezeki seluruh makhluk dan Dia pula yang menjamin penyempurnaan rezeki seluruh makhlukNya, tidaklah mati satu makhluk pun kecuali telah Dia sempurnakan rezekinya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, karena tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya, walau lambat rezeki tersebut sampai kepadanya, maka bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, ambillah rezeki yang halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Ar-Razzaq juga diartikan sebagai yang banyak memberi rezeki. Dia memberi rezeki yang satu kemudian rezeki yang lain dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak ada satupun makhluk yang tidak mendapatkan rezeki dari Allah. Maka yang harus kita yakini adalah tidaklah Allah memberi rezeki kepada hambaNya kecuali ada tujuannya. Setelah diberi rezeki, tidaklah makhluk dibiarkan begitu saja menikmatinya tanpa kewajiban apapun, sehingga orang yang serakah lagi zalim dalam mencari rezeki dan dalam memanfaatkannya, disamakan dengan orang yang bertakwa dalam mencari rezeki dan dalam memanfaatkannya. Tidaklah demikian.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk hanyalah agar mereka beribadah kepadaNya dan Allah menciptakan rezeki untuk mereka semata-mata agar mereka gunakan rezeki tersebut untuk beribadah kepadaNya.” (Majmu’ul Fatawa Imam Ibnu Taimiyyah, kitabul Iman)

Jadi Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah memberi rezeki kepada hamba-hambaNya untuk bersenang-senang yang melalaikan ibadah kepadaNya dan tidak pula untuk bermaksiat kepadaNya. Allah berikan rezeki itu kepada hamba-hambaNya agar mereka bisa beribadah kepadaNya. Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka tentang bagaimana cara mereka mendapatkan rezeki itu lalu mereka gunakan untuk apa.

Oleh karena itulah pantas jika Allah banyak menyebutkan rezekiNya di dalam Al-Qur’an dalam konteks memerintahkan hamba-hambaNya untuk beribadah dan melakukan berbagai macam keta’atan kepadaNya. Allah ta’ala mengingatkan kepada hamba-hambaNya agar mensyukuri rezekiNya yang mereka dapatkan dengan mentauhidkan Allah dan menjauhi syirik, “Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”

“Dia lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian; karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22).

Firman Allah ta’ala: “Allah lah yang menciptakan kalian, kemudian memberi kalian rezeki, kemudian mematikan kalian, kemudian menghidupkan kalian (kembali). Adakah di antara yang kalian sekutukan dengan Allah itu, yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha suci Dia dan Maha tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (Ar-Ruum: 40).


(18) Al-Fattah (Maha Pembuka Kebaikan dan Pemberi Keputusan)

Yang membuka dan mencurahkan rahmat kepada makhlukNya. Atau yang menentukan hukum-hukum tertentu antara semua makhlukNya. Al-Fattah berarti Maha Pemberi Keputusan. Keputusan yang diberikan Allah swt merupakan keputusan yang seadil-adilnya. 

Allah swt berfirman, “Katakanlah, ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan dia yang Maha Pemberi Keputusan, Maha Mengetahui.” (QS. Sabaa’: 26)

Beliau berkata, “Allah (Dia lah) Yang Maha pemberi keputusan hukum lagi Maha Mengetahui hukum (yang tepat dan adil) di antara hamba-hambaNya, karena tiada sesuatupun (dari keadaan mereka) yang tersembunyi di hadapanNya, dan Dia tidak membutuhkan saksi untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah.”

Maka makna Al-Fattah adalah Yang Maha Memutuskan hukum di antara hamba-hambaNya dengan hukum-hukum dalam syariatNya, dan hukum-hukum (ketetapan-ketetapan) dalam takdirNya, serta hukum-hukum Al-jazaa’ (balasan amal perbuatan yang baik dan buruk), Yang Maha Membuka mata hati orang-orang yang jujur (benar) dengan kelembutanNya, Membuka pintu hati mereka untuk mengenal, mencintai dan selalu kembali (bertaubat) kepadaNya, Membuka pintu-pintu rahmatNya dan berbagai macam rezeki, serta memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat. 

Allah berfirman, “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan olehNya maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.” (QS. Faathir: 2)

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan dengan lebih terperinci makna nama Allah ta’ala yang agung ini, beliau berkata, “Al-Fattah mempunyai dua arti: 

a. Kembali kepada arti Al-hukmu (menghukumi/memutuskan), (yaitu) yang memutuskan dan menetapkan hukum bagi hamba-hambaNya dengan syariatNya, serta memutuskan perkara mereka dengan memberi ganjaran pahala bagi orang-orang yang mentaatiNya serta siksaan bagi orang-orang yang berbuat maksiat, di dunia dan akhirat. 

Sebagaimana firman Allah, “Katakanlah: “Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Sabaa’: 26).

Dan firman Allah berikut ini, “Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raaf: 89).

Maka ayat pertama (artinya) keputusan (hukum)Nya bagi hamba-hambaNya pada hari kiamat, sedangkan ayat kedua (artinya keputusan/hukumNya) di dunia dengan menolong/memuliakan kebenaran dan penganutnya, serta merendahkan kebatilan dan penganutnya, dan menimpakan berbagai macam siksaan kepada mereka.

b. Dia lah yang membuka semua pintu-pintu kebaikan bagi hamba-hambaNya, (sebagaimana) firman Allah ta’ala, “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya.” (QS. Faathir: 2).

Dia lah yang membuka (pintu-pintu) manfaat dunia dan agama bagi hamba-hambaNya, dengan membuka hati-hati yang terkunci dari orang-orang yang dipilihNya di antara mereka dengan kelembutan dan perhatianNya, dan menghiasi hati mereka dengan pengetahuan tentang ketuhanan (tauhid dan pemahaman yang benar terhadap nama-nama yang Maha Indah dan sifat-sifatNya yang Maha Sempurna) dan hakekat keimanan (kepadaNya), yang (semua itu) memperbaiki (meyempurnakan) keadaan (agama) mereka dan menjadikan mereka istiqamah (tetap tegar) di atas jalan yang lurus.

Lebih khusus dari semua itu, sesungguhnya Allah membukakan bagi orang-orang yang mencintaiNya dan selalu menghadapkan diri kepadaNya pengetahuan tentang ketuhanan (tauhid dan pemahaman yang benar terhadap nama-nama yang Maha Indah dan sifat-sifatNya yang Maha sempurna), keadaan rohani, cahaya (hati) yang terang, serta pemahaman dan perasaan yang benar (terhadap agamaNya).

Dia juga yang membuka bagi hamba-hambaNya pintu-pintu rezeki dan sebab-sebab untuk mendapatkannya. Dia menyediakan bagi orang-orang yang bertakwa rezeki dan sebab-sebab memperolehnya tanpa disangka-sangka. Dia menganugerahkan kepada orang-orang yang bertawakkal (berserah diri kepadaNya) lebih dari apa yang mereka minta dan harapkan, memudahkan bagi mereka (mengatasi) semua urusan yang sulit, dan membukan pintu-pintu (pemecahan masalah) yang tertutup”


(19) Al-’Aliim (Maha Mengetahui Segala Sesuatu)

Yang mengetahui segala, Yang Maha Mengetahui. Tidak ada satu kejadian pun di langit dan di bumi atau diantara keduanya yang terjadi tidak diketauhiNya, kejadian besar atau kejadian kecil. Sehelai daun kayu jatuh ke bumi pasti diketahuiNya, sebutir debu yang bagaimana halusNya, dilemparkan ke ruang angkasa pasti diketahuiNya.

“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah; kepadaNya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Bagi Allah, tidak ada yang tersembunyi. Serapat-rapat manusia menyimpan rahasia, Allah pasti mengetahuinya. Sekelebat mata yang berkhianat, Allah mengetahuinya. Niat hati yang tersimpan rapi, Allah pun mengenalinya. Lebih jauh dari itu, rahasia di balik rahasia pun, diketahuiNya. Sesuatu yang sudah mengendap lama atau yang telah terlupakan oleh manusia, serta segala yang kini telah berada di bawah sadarnya, Allah tetap mengetahuinya. Dia berfirman, “Jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (mengetahuinya serta) mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (dari rahasia).” (QS. Thaahaa: 19)

Lalu, dapatkah kita bersembunyi dari pantauanNya? Dapatkah kita merahasiakan sesuatu di hadapan Allah? Dapatkah kita keluar dari monitoringNya? Sungguh, Allah bahkan telah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, karena Dia lah yang membuat rencana, Dia pula eksekutornya. 

“Tiada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakanNya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)

Tidak hanya itu, bahkan Allah lah sumber dari segala sumber ilmu. Dia tidak saja sekadar tahu, tapi Dia adalah sumber pengetahuan. Perlu diketahui bahwa ilmu Allah itu bukan hasil dari sesuatu, tapi segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini merupakan hasil dari ilmuNya. Allah berfirman, “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya.” (Al-Baqarah: 255)

Meskipun demikian, Allah tidak mau memonopoli ilmuNya sendiri. Dia mau berbagi kepada makhlukNya, terutama kepada manusia. Khusus dalam hal ini, manusia dibebaskan menyandang gelar aliim bagi mereka sampai pada kualifikasi tertentu. Orang yang berpengetahuan boleh disebut aliim, sama dengan nama yang disandang Allah. Akan tetapi harus disadari bahwa ilmu manusia tetaplah tak sebanding dengan ilmu Allah, bahkan tidak ada apa-apanya. “Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Israa: 85)


(20) Al-Qaabidh (Maha Menyempitkan)

Yang menyempitkan hidup atau mengurangi rezeki seseoarang yang Ia kehendaki. Tidak sedikit seseorang yang pintar, kuat, giat, tetapi tetap hidup melarat. Sebagian ulama menganggap kurang etis menyebut nama Allah Al-Qaabidh tanpa kemudian menyandingkannya dengan nama Al-Baasith. Menurut mereka, kesempurnaan Allah terletak pada kekuasaanNya untuk menahan dan melepas, menyempitkan sekaligus melapangkan. Mereka sangat khawatir jika Al-Qaabidh tidak disandingkan dengan Al-Baasith akan timbul kesan negatif pada citra Allah. Akan tetapi sebagian ulama lain menyebutkan bahwa boleh-boleh saja menyebut Al-Qaabidh tanpa menyertakan Al-Baasith asal tidak disalahartikan.

Siapa yang bisa menyalahkan Allah ketika menyempitkan rezeki seseorang? Siapa yang bisa menegatifkan citra Allah ketika memendekkan umur hambaNya? Di balik semua kebijakanNya terdapat hikmah yang Dia sendiri mengetahuiNya, sedangkan manusia baru bisa mengambil hikmahnya setelah peristiwanya berlalu.

Al-Qaabidh diambil dari akar kata yang makna awalnya adalah “sesuatu yang diambil” atau “keterhimpunan pada sesuatu.” Makna dasar ini kemudian berkembang sehingga melahirkan makna baru, seperti: menahan, menggenggam, menghalangi, dan menyempitkan. Istilah Al-Qaabidh sendiri tidak dijumpai dalam Al-Qur’an sebagai sifat dan asma Allah, kecuali hanya dijumpai dalam bentuk kata kerja yang pelakunya adalah Allah swt, sebagaimana ayat berikut: “Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sekalipun kata Al-Qaabidh tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, tapi kita bisa menemukannya dalam berbagai riwayat hadits, di antaranya menjelaskan tentang kekuasaan Allah menahan nyawa hamba-hambaNya yang dikehendaki. “Sesungguhnya Allah menahan nyawa (jiwa) kamu bila Dia menghendaki dan mengembalikannya jika Dia menghendaki.”

Dari uraian di atas, setidaknya kita bisa menyimpulkan untuk sementara bahwa Al-Qaabidh mengandung dua pengertian, yaitu menyempitkan rezeki dan memendekkan umur. Di tanganNya segala urusan rezeki, dan di dalam genggamanNya pula soal nyawa makhlukNya. Ketika Dia menahan rezeki milikNya atas seseorang, hendaklah ia tidak protes, sebab rezeki itu milikNya dan hakNya semata untuk membagikan kepada siapa yang dikehendakiNya. Untuk itu, sikap yang baik adalah menerima dan meyakini akan kasih sayangNya. Keyakinan itu hendaknya diwujudkan dalam bentuk do’a dan ikhtiar. Terus berusaha keras dan cerdas untuk memperolehnya, seraya tidak lupa memanjatkan do’a.

Bagi kita, mengenali sifat dan asma Allah Al-Qaabidh ini akan mendorong kita untuk berhati-hati menjalani hidup. Kita tidak akan main-main ketika diserahi titipan jabatan sebagai eksekutif, pengusaha, ulama, hakim, politisi, atau jabatan apapun, sebab bila Allah melihat sesuatu yang tidak beres atas perilaku hamba-hambaNya, maka Dia segera mengambil tindakan dengan dua tujuan, yaitu peringatan atau hukuman.

Ketika kita lalai menjalankan tugas atau menyelewengkan amanah karena khilaf, maka untuk memperbaikinya atau untuk mengembalikan kita pada “orbit” yang benar, Allah mengambil tindakan dengan menyempitkan gerak langkah kita melalui berbagai cara. Mulai dari menyempitkan rezeki, memberikan rasa sakit, membatasi akses dan kesempatan, sampai pada menjadikan kita sesak dada dengan adanya berbagai tekanan dan himpitan permasalahan. Seorang yang arif ketika menghadapi situasi seperti ini segera menyadari bahwa itu semua adalah teguran Allah, kemudian meresponnya dengan kembali pada jalan yang benar sesuai kehendakNya.

Untuk itu kita diajarkan bermunajat kepadaNya agar diberi hikmah kearifan, rabbi habli hukman (Tuhan, berilah aku hikmah kearifan) (QS. Asy-Syu’araa: 83). Dengan hikmah kearifan itu kita bisa menangkap berbagai bentuk “sinyal” peringatan Allah yang didatangkan kepada kita. Adapun bagi mereka yang keras kepala atau hatinya telah mati, berbagai peringatan Allah tidak direspon secara positif. Mereka tetap berada di jalan yang sesat, sekalipun peringatan itu datangnya bertubi-tubi. Terhadap mereka ini sudah sepantasnya diberi hukuman.

Hikmah lain dari kesadaran kita terhadap asma Allah Al-Qaabidh adalah penerimaan kita terhadap segala putusan Allah. Orang-orang yang arif akan memandang bahwa segala sesuatu yang telah diputuskan Allah pasti terbaik. Hal ini mengharuskan kita untuk “ridha”, menerima segala ketetapan Allah dengan lapang dada, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Keridhaan itu merupakan manifestasi dari keyakinan kita kepada taqdir Ilahi. Dengan keridhaan itu, insya Allah kita akan merasakan sekaligus menikmati lezatnya iman. 


(21) Al-Baasith (Maha Melapangkan)

Yang melapangkan hidup atau menambah rezeki seseorang yang Ia kehendaki. Tidak sedikit orang yang yang bodoh tapi kaya raya. Ketika kita dihadapkan dengan permasalahan hidup seakan-akan hari-hari yang kita hadapi cukup lama, ketika kita mendapatkan musibah seakan-akan kita pesimis untuk dapat melaluinya dan enggan mengikhlaskannya. Tapi ketika kita sadar, Dia lah (Allah) yang Maha Melapangkan segala-galanya, Dia lah yang melapangkan jiwa kita, yang membesarkan hati kita dan meningkatkan kesadaran kita. Karena Allah Maha Pengasih lagi Penyayang hambaNya.

Allah yang Maha Kaya senantiasa memberikan rezekinya kepada semua makhluk, termasuk manusia. Bahkan bumi dan seluruh isinya ini diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran manusia. Selain itu, manusia juga dikaruniai akal dan pikiran untuk bisa mengolah kekayaan alam dengan sebaik-baiknya. 

Allah berfirman, “Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezeki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.” (QS. Ar-Ruum)
Berdasarkan firman Allah di atas, maka janganlah kita mudah terlena oleh masa-masa kesenangan dan kelapangan. Ketika semua itu terjadi, dengan melupakan Allah di dalam kesenangan dan kebahagiaan kita, dengan menjadi sombong karena mengira bahwa karena kita lah keberhasilan itu bisa tercapai. Pada saat itu, kita harus bersyukur kepada Allah.


(22) Al-Khaafidh (Maha Merendahkan)

Yang menurunkan derajat seseorang yang Ia kehendaki. Al-Khaafidh berasal dari kata kerja khafadha, yang berarti merendahkan. Dalam Al-Qur’an tidak didapati satu ayat pun yang secara langsung menyebut nama Al-Khaafidh. Meskipun demikian, ditemukan turunan kata itu dalam beberapa ayat, misalnya dalam surah Al-Waqi’ah ayat 3 yang menggambarkan hari kiamat sebagai “Khaafidhatur-Raafi’ah”, (pada hari itu Allah “merendahkan dan meninggikan” derajat manusia). Ada manusia yang saat di dunia memiliki tempat dan kedudukan yang tinggi di depan manusia, tapi oleh Allah pada hari kiamat justru direndahkannya. Sebaliknya, ada yang dalam kehidupan dunianya direndahkan oleh manusia, sementara Allah pada hari itu justru meninggikan derajatnya.

Suatu hari Rasulullah ditanya tentang arti firman, “Setiap saat Dia (Allah) dalam kesibukan” (QS. Ar-Rahman: 29), beliau menjawab: “Termasuk kesibukanNya adalah mengampuni dosa, menghilangkan keresahan, meninggikan kelompok-kelompok manusia, dan merendahkan yang lain.” (HR. Ibnu Majah)

Dari hadits di atas, kita bisa menangkap makna bahwa Allah tidak pernah berhenti beraktifitas. Dia senantiasa sibuk, selain menjaga rotasi alam, juga mengatur kehidupan makhluk istimewaNya yang bernama manusia. Dia memberi ampunan pada siapa saja yang bertaubat, menghilangkan kegelisahan orang-orang yang stress, meninggikan orang yang berprestasi, dan merendahkan manusia dengan berbagai sanksi sosial, moral, dan hukum.

Al-Qur’anul Karim telah menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan kejatuhan, kebangkitan, dan ketinggian. Berikut ini adalah salah satu ayat yang menjelaskan tentang hukum tersebut: “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam kesempurnaan ciptaan, kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya.” (QS. At-Tiin: 5)

Al-Qurthubi dalam Al-Asmaul Husna mengingatkan: “Ketahuilah bahwa yang direndahkan Allah adalah manusia yang terhindar dari taufiq dan pertolonganNya, yang diperintah oleh nafsunya, yang tidak memperoleh kebajikan dari Tuhannya. Apabila berusaha kembali kepadaNya, ia tidak mendapatkan bisikan hati tentang kekuasaanNya. Apabila berusaha mendengar bisikan-bisikan hatinya, ia tidak meraih percaya diri atau kelezatan dalam bermunajat denganNya.”


(23) Ar-Rafi’ (Maha Meninggikan)

Yang meninggikan derajat seseorang yang Ia kehendaki. Walaupun kita sudah jatuh, Ia dapat membangkitkan kita kembali, walaupun sudah mencapai titik rendah, Ia bisa meninggikan kembali. Karena tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah untuk dapat melakukannya.

Ar-Rafi’ berasal dari kata rafa’a yang artinya meninggikan, sedang arti Ar-Rafi’ sendiri adalah Yang Maha Tinggi. Allah adalah wujud yang Maha Tinggi, bahkan Dia adalah setinggi-tinggi wujud dalam segala sifat keagunganNya.

Dalam Al-Qur’an bisa dijumpai beberapa ayat yang menjelaskan tentang “kesibukan” Tuhan dalam meninggikan derajat nabi dan para wali (kekasih)Nya. Di antaranya adalah Nabi Isa as yang telah diwafatkan dan kemudian ditinggikan derajatnya oleh Allah swt di sisiNya, setelah di dunia dihinakan oleh ummatnya. 

Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan meninggikanmu.” (Ali Imraan: 55)

Nabi Muhammad termasuk disebut dalam Al-Qur’an sebagai orang yang ditinggikan sebutan (derajatnya). Nama beliau tidak saja digandengkan dengan namaNya dalam dua kalimah syahadat, tapi namanya senantiasa disebut-sebut dalam setiap shalawat. Sekalipun beliau sudah wafat 14 abad yang lampau, namanya tetap harum dan paling banyak disebut dan diucapkan manusia sampai hari kiamat.

Tak sedikit orang yang semasa hidupnya tidak banyak disebut orang, bahkan oleh para musuh politiknya dikategorikan sebagai pengkhianat negara, tapi setelah wafat sekian lamanya, namanya direhabilitasi. Orang menyebutnya kembali sebagai pahlawan. Pikiran-pikirannya muncul kembali menjadi ruh dalam menyemangati perjuangan dan idealisme.

Dia lah Allah yang tidak pernah lepas memperhatikan satu persatu hamba-hambaNya, memperhitungkan, sekaligus memberi hukuman dan penghargaan. Orang-orang yang mengukir prestasi semasa hidupnya di dunia ini tak perlu khawatir perbuatannya sia-sia. Lambat atau cepat prestasi itu akan diperlihatkan dan dihargai. Bisa jadi penghargaan itu diberikan pada saat dia masih hidup, mungkin juga diberikan saat sudah mati. Namanya dikenang banyak orang, dijadikan teladan, dijadikan sumber inspirasi, dan ditulis dalam catatan sejarah dengan tinta emas.


(24) Al-Mu’izz (Maha Memuliakan)

Yang menyebabkan seseorang menjadi kuat, mulia atau menang. Dikatakan bahwa Al-Mu’izz itu adalah Dzat yang memberikan kemuliaan kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya, sedangkan Al-Mudzill itu ialah Dzat yang menundukkan orang yang dikehendakiNya dengan jalan menghinakannya. Namun jangan lupa di balik penarikannya kembali itupun terdapat kemurahan Allah, Ia ingin meningkatkan kesadaran kita dan merendahkan derajat kita itu merupakan sarana untuk mencapai apa yang diinginkanNya. Hanya kesadaran yang bisa menyelamatkan kita, dan Ia ingin kita selamat, maka dari itu jangan pernah meragukan kebijakanNya, apapun dilakukan olehNya untuk membuat kita sadar. Karena Ia Maha Memuliakan (mahlukNya).

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah...” (QS. Fathir: 10)

Al Mu’izz secara bahasa berarti memberikan kemuliaan. Allah Al Mu’izz, artinya Allah memberikan kemuliaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki menurut hikmah kebijaksanaanNya. Allah Yang Maha Memuliakan dan Maha Menghinakan akan memuliakan dan mengangkat derajat orang-orang yang baik akhlaknya dan menghinakan derajat orang-orang yang buruk akhlaknya. 

Allah berfirman, “Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ‘Imran: 26)

Allah adalah pemilik segala kemuliaan. Karenanya, Allah pula lah yang menganugerahkan kemuliaan kepada siapa yang Dia kehendaki. Diantaranya, Allah menganugerahkan kemuliaan kepada para rasul dan orang-orang mukmin.

“...Padahal ‘izzah (kemuliaan) itu hanya bagi Allah, rasulNya, dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (QS. Al Munafiqun: 8)

Seharusnya kita menyadari bahwa kemuliaan itu milik Allah. Karenanya, jika kita menginginkan kemuliaan maka taatlah kepadaNya. Niscaya, Allah akan menganugerahkan kemuliaan kepada kita.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Tuhan kalian berfirman setiap hari, ‘Akulah Al-Aziz (Yang Maha Mulia) siapa yang menghendaki kemuliaan dunia dan akhirat, hendaklah dia taat kepada Al-Aziz.’”

Jadi siapapun yang ingin mulia dengan sesungguhnya harus dengan rumus tidak boleh bergantung kepada sebab, tetapi bergantung kepada yang memberikan penyebab. Siapapun yang ingin mulia oleh sesuatu yang pasti akan berakhir, maka dia tidak akan mulia. Kemuliaan hakiki adalah kalau kita bergantung kepada yang tidak akan pernah berakhir. Ada orang yang akan merasa mulia apabila mempunyai harta, maka dia akan mengumpulkan harta sebanyak mungkin, dia akan merasa bangga dengan banyak tabungannya, memakai mobil mewah, mempunyai rumah megah dan semua itu akan berakhir. Boleh jadi dia yang meninggalkan hartanya atau hartanya yang meninggalkan dia. Seperti itu semua tidak salah, asalkan semua yang ada pada diri kita menjadi jalan untuk kemuliaan yang hakiki menurut pandangan Allah swt.


(25) Al-Mudzill (Maha Menghinakan)

Yang menyebabkan seseorang menjadi lemah, hina atau kalah. Lafal Al-Mudzillu mempunyai arti atau mengandung makna bahwa Allah, adalah Dzat yang menundukkan orang yang dikehendakiNya dengan jalan menghinakannya. Berakhlak dengan kedua ism ini mengharuskan seseorang agar memuliakan kepada siapa yang diperintahkan supaya dimuliakan dan menghinakan kepada siapa yang diperintahkan supaya dihinakan. 
Khasiat ism Al-Mudzillu menurut beberapa pendapat jika dibaca sebanyak 75 kali kemudian ia berdo’a di dalam sujudnya, niscaya ia akan bebas dari dalam penjaranya dan akan selamat dari gangguan orang-orang yang dengki dan aniaya.

Al-Mudzill secara bahasa berarti menimpakan kehinaan. Allah Al-Mudzill, artinya Allah menghinakan siapa saja yang Dia kehendaki menurut hikmah kebijaksanaanNya. Misalnya, Allah menghinakan orang-orang musyrik, kafir, dan munafik karena kedurhakaan mereka. Allah memiliki otoritas untuk memuliakan dan menghinakan hambaNya. Seorang hamba dimuliakan karena amalnya, demikian juga hamba yang lain dihinakan karena perbuatannya. Allah memuliakan dan menghinakan hambaNya atas dasar ilmu juga keadilanNya. Allah tidak pernah mendzalimi hambaNya, tetapi hamba itulah yang mendzalimi dirinya sendiri.
“Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ‘Imran: 26)

Seorang muslim yang memahami asma Allah yang satu ini senantiasa waspada dan hati-hati, sebab bisa jadi kehormatan dan kemuliaan yang kini disandangnya menjadi batu ujian yang justru bisa membalikkan posisinya.


(26) As-Samii’ (Maha Mendengar)

Yang dapat mendengar segala bunyi atau suara, suara keras atau halus, dari jauh atau dekat. Allah lah yang mendengar semua yang terucap, terlintas dalam pikiran dan akal, apa yang dirasakan dalam hati. Gemericiknya air, gemerisiknya dedaunan kala ditiup angin, bahkan bunyi jejak langkah kaki semut Allah mendengarnya dengan jelas. As-Samii’ Yang Maha Mendengar, adalah sifat kesempurnaan karena lawan katanya tuli, sebagai sifat kekurangan.

Ada dua tingkat kesempurnaan yang relatif dan mutlak. Kesempurnaan mutlak tidak bergantung pada alat, keadaan, atau batasan. Sedangkan kesempurnaan yang relatif tergantung pada alat, keadaan dan tebatas.

Alam semesta sejak penciptaan awal hingga akhir dari satu sisi ke sisi yang lain tanpa terputus, segala bunyi dan suara selalu mengiringi penciptaan ini. suara ini terkadang ada yang mampu didengar oleh manusia, sebagaimana halnya suara ledakan keras, ada pula yang tidak terdengar oleh pendengaran manusia.

Suara ini tidak ada yang hilang dari catatan As-Samii’ dalam buku besar yang tersimpan dalam Lauhul Mahfudz. Semua suara dan bunyi dari makhluk di alam semesta terjejak dengan rapi, penuh makna. Jika suara ini adalah pertanyaan, maka Allah menjawabnya, jika tuntutan, maka akan dipenuhiNya, jika sesuatu yang salah, maka akan ditunjukkan jalan kebenaran olehNya.

Allah Maha Mendengar segala keluh, gundah, kegelisahan, dan kehampaan kita. Hanya dengan isyarat dalam hati Allah mampu mendengar. Tak perlu kita melenguhkan suara kita untuk memohon kasihNya. Hanya dengan ungkapan air mata, Allah sudah memahami apa yang kita inginkan.

Di saat kita merasa hampa dan tiada berdaya, hanya Allah mampu mendengar apa isi hati kita. Segala yang tak terucap dari lisan, Allah tahu dengan sejelas-jelasnya. Allah tidak akan pernah bosan mendengar segala pinta dan asa kita.

Maha MendengarNya, tidak hanya di alam nyata, di alam ghaib Allah menguasaiNya. Sebagaimana firmanNya dalam surah Al-An’am 59, “Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am 59)

Menyebut asma As-Samii’ dalam setiap dzikir kita semakin menambah kedekatan kita kepadaNya. Memuja sifat dan mengamalkan dalam kehidupan akan membawa kita kepada kepekaan untuk lebih memahami kekuasaaNya.


(27) Al-Bashir (Maha Melihat)

Yang melihat segala, yang besar atau yang halus, yang dekat atau yang jauh. Al-Bashir berasal dari kata bashara, yang arti harfiahnya adalah “melihat.” Dalam pengertian yang lebih luas, bashara bisa berarti ilmu atau kejelasan. Nabi Yusuf, sebagaimana dikutip dalam Al-Qur’an, senantiasa melakukan dakwah kepada para terpidana dan petugas di lingkungan penjara dengan mengatakan: “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan bukti yang sangat jelas dan nyata (bashirah).” (QS. Yusuf: 108)

Arti lain, seperti yang sering dipakai oleh kaum sufi, adalah mata hati atau mata batin. Ada pula yang menyebutnya dengan indera keenam. Apa pun namanya, seseorang yang telah memiliki bashirah akan mampu melihat hal-hal yang ghaib. Ketika melihat sesuatu, ia tidak hanya melihat dengan mata kepalanya saja, tetapi menggunakan mata batinnya yang dapat menembus batas ruang dan waktu.

Bashirah dalam pengertian yang kedua tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang senantiasa berusaha mendekat atau melakukan taqarrub kepada Allah. Salah satu hambaNya yang jelas-jelas telah memiliki bashirah adalah Muhammad saw, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Telah diperlihatkan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Al-Israa’: 1).

“Tanda-tanda Kami” dalam ayat di atas tidak lain adalah sesuatu yang ghaib, terselubung, atau tersembunyi. Nabi Muhammad diberi kesempatan untuk menyaksikan peristiwa ghaib melalui mata batinnya. Tirai yang menyelubungi alam ghaib dibuka sehingga tidak ada lagi pembatas antara Rasulullah saw dengan alam ghaib. Dengan begitu, peristiwa masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, tertampang jelas di hadapannya.

Bashirah itu tidak hanya diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saja, tapi dalam batas-batas tertentu juga dikaruniakan kepada para hambaNya yang senantiasa taqarrub kepadaNya. Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Aku lah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan sebagai tangan yang digunakannya, serta kaki yang dijalankannya. Apabila ia memohon kepadaKu pasti Aku kabulkan. Jika meminta perlindungan, maka pasti Aku lindungi.” (HR. Bukhari)

Sebagai hamba Al-Bashir, kita harus menyadari bahwa seluruh aktifitas kita dilihat dan diawasi Allah. BagiNya, tiada tempat yang tersembunyi. Dengan kesadaran itu, kita akan selalu memilih aktifitas yang baik dan mendatangkan manfaat. Sebaliknya, kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh menghindari segala aktifitas yang sia-sia dan mendatangkan mudharat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Ketika terbersit keinginan untuk berbuat maksiat, sekecil apa pun, kita segera menyadari bahwa Allah (Al-Bashir) sedang mengawasi kita. Timbul rasa malu, kemudian ada dorongan dalam diri untuk segera meninggalkannya. 


(28) Al-Hakam (Maha Menetapkan)

Yang menetapkan hukum bagi segala makhlukNya, hukum yang tak dapat diubah siapapun. Al-Hakam berasal dari akar kata hakama. Dari akar kata itu bisa berubah menjadi haakim dan hukm. Semua kata yang berasal dari pengembangan akar kata hakama mempunyai makna yang sama, yaitu menghalangi. Itulah sebabnya, hukum dapat diartikan sebagai perangkat yang dapat menghalangi atau membatasi seseorang atau sekelompok orang dari tindakan yang melanggar.

Pengertian pertama Al-Hakam adalah bahwa Allah lah yang Maha Memutuskan dan Menetapkan semua perkara. Segala yang terjadi di kolong langit dan di atas bumi adalah ketetapanNya. Kapan selembar daun mengering, kapan terlepas dari tangkainya, dan kapan pula jatuhnya ke bumi, Dia lah yang menetapkan. Tiada Tuhan selain Allah, yang menetapkan segala sesuatu berdasar hukumNya.

Pengertian kedua, melalui asmaNya ini Allah menetapkan bahwa setiap individu manusia akan memperoleh apa yang telah diusahakannya. Setiap individu menanggung sendiri dosa dan pahalanya. Anak tidak menanggung dosa bapaknya, demikian juga sebaliknya. Islam tidak mengenal dosa warisan, sebagaimana firmanNya: “Dan bahwa setiap manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusakannya, dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadaNya).” (An-Najm: 39-40).

Pengertian ketiga, sebagai Al-Hakam, Allah telah menetapkan kepastian hukum bagi hambaNya. Bagi yang berbakti akan diganjar dengan kebahagiaan, sebaliknya bagi yang durhaka akan dihukum dengan kesengsaraan. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Al-Infithar: 13 dan 14)

Pengertian keempat, Allah adalah Hakim Agung. Sebagai Hakim Agung, Allah tidak membutuhkan sesuatu, malah sebaliknya segala sesuatu membutuhkanNya. Dia tidak bisa dirayu, disogok, dan disuap. Di pengadilan Allah, semua perkara diputus dengan seadil-adilnya. Semua alat bukti dapat dihadirkan, bahkan Allah sendiri yang akan menjadi saksinya. Jangankan perbuatan yang terlihat, niat yang tersembunyi sekali pun dapat dilihat Allah swt. Di hadapan Allah, mana mungkin kita mengingkari atau sekadar menyembunyikannya?

Pengertian kelima, setiap keputusan yang keluar dariNya pastilah merupakan keputusan dan adil dan bijaksana. Allah tidak pernah mendzalimi hambaNya, tapi hambaNya lah yang berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Apa pun keputusanNya harus kita terima. “Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi kamu, dan bisa jadi apa yang kamu sukai itu menjadi jelek bagi kamu.” (Al-Baqarah: 216)

Sebagai hambanya Al-Hakam, kita hanya boleh berbaik sangka terhadap apa yang telah diputuskan kepada kita sampai saat ini, juga terhadap apa yang akan diputuskan kelak pada kita di akhirat nanti. Kita rela dan bersyukur atas keputusanNya di dunia ini, dan kita senantiasa berharap keputusan terbaik buat kita di akhirat kelak.

“Maka patutkah aku mencari hukum selain daripada Allah, padahal Dia lah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?” (Al-An’am: 114)
 

(29) Al-’Adl (Maha Adil)

Yang berlaku adil di dalam hukumNya dan ketetapanNya. Al-’Adl artinya Maha adil. Keadilan Allah swt bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apa pun dan siapa pun. Keadilan Allah swt juga didasari oleh ilmu Allah swt Yang Maha Luas. Sehingga tidak mungkin keputusanNya itu salah. 

Allah swt berfirman, 


“Telah sempurna lah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimatNya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’nam: 115)

Al-’Adl berasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. orang yang adil adalah orang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan inilah yang menunjukan orang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Adil juga dimaknai sebagai penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya.

Allah swt dinamai Al-’Adl karena keadilan Allah swt adalah sempurna. Dengan demikian semua yang diciptakan dan ditentukan oleh Allah swt telah menunjukkan keadilan yang sempurna. Hanya saja, banyak diantara kita yang tidak menyadari atau tidak mampu menangkap keadilan Allah swt terhadap apa yang menimpa makhlukNya. Karena itu, sebelum menilai sesuatu itu adil atau tidak, kita harus dapat memperhatikan dan mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus yang akan dinilai. Akal manusia tidak dapat menembus semua dimensi tersebut.

Seringkali ketika manusia memandang sesuatu secara sepintas dinilai buruk, jahat, atau tidak adil, tetapi jika dipandang secara luas dan menyeluruh, justru sebaliknya, merupakan suatu keindahan, kebaikan, atau keadilan. Tahi lalat secara sepintas terlihat buruk, namun jika berada di wajah seseorang dapat terlihat indah. Begitu juga memotong kaki seseorang (amputasi) terlihat kejam, namun jika dikaitkan dengan penyakit yang mengharuskannya untuk dipotong, hal tersebut merupakan suatu kebaikan. Disitulah makna keadilan yang tidak gampang menilainya.

Allah swt Maha adil. Dia menempatkan semua manusia pada posisi yang sama dan sederajat. Tidak ada yang ditinggikan karena keturunan, kekayaan, atau karena jabatan. Dekat jauhnya posisi seseorang dengan Allah swt hanya diukur dari seberapa besar mereka berusaha meningkatkn takwanya. Makin tinggi takwa seseorang, makin tinggi pula posisinya, makin mulia dan dimuliakan oleh Allah swt, begitupun sebaliknya.

Sebagian dari keadilanNya, Dia hanya menghukum dan memberi sanksi kepada mereka yang terlibat langsung dalam perbuatan maksiat atau dosa. Istilah dosa turunan, hukum karma, dan lain semisalnya tidak dikenal dalam syari’at Islam. Semua manusia di hadapan Allah swt akan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri.

Lebih dari itu, keadilan Allah swt selalu disertai dengan sifat kasih sayang. Dia memberi pahala sejak seseorang berniat berbuat baik dan melipatgandakan pahalanya jika kemudian direalisasikan dalam amal perbuatan. Sebaliknya, Dia tidak langsung memberi catatan dosa selagi masih berupa niat berbuat jahat. Sebuah dosa baru dicatat apabila seseorang telah benar-benar berlaku jahat.


(30) Al-Lathif (Maha Lembut)

Yang mengetahui segala perkara sampai sehalus-halusnya, atau yang sangat sangat mengasihani terhadap segala MakhlukNya. Al-Lathif berarti Maha Lembut. Dia mengampuni dosa hamba-hamba yang dikehendakinya. Dalil yang menjelaskan Asmaul Husna Al-Lathif adalah: “...Dan dia Maha Halus, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14)

Kata Al Lathif berasal dari akar kata lathafa, yang bermakna lembut, halus, atau kecil. Az-Zajjaj, pakar bahasa Arab dalam tafsir Asmaul Husna mengartikan Al-Lathif sebagai “yang mencapai tujuannya dengan cara yang sangat tersembunyi atau tak terduga.”

Predikat Al-Lathif memang pantas disandang Allah, dan hanya Dia yang pantas menyandangnya. Setidak-tidaknya, ada tiga alasan mengapa Dia disebut Al-Lathif:
 
a. Dia melimpahkan karunia kepada hamba-hambaNya secara tersembunyi dan rahasia, tanpa diketahui oleh mereka. Ketika Dia menyatukan dua insan berlainan jenis dalam mahligai rumah tangga, tak seorang pun tahu dari mana datangnya cinta. Begitu halus, begitu lembut, sehingga orang yang dikaruniainya tak juga mengetahuinya. Demikian pula anugerah rezeki yang lain, semua serba halus dan tersembunyi. 

Al-Ghazali memberi catatan khusus di sini, ketika ia menggambarkan betapa Maha Halusnya Allah. Ia mengangkat contoh janin, bagaimana Allah memelihara janin ibu dan melindunginya dalam tiga masa kegelapan, yaitu kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutupi anak dalam rahim. Betapa Maha halusnya Dia ketika memberi makan janin melalui pusar sampai ia lahir dan mengilhaminya menyusu kepada ibunya tanpa ada yang pernah mengajarinya. Gigi-gigi bayi ketika itu belum ditumbuhkan agar si ibu tidak kesakitan ketika anaknya menyusu. Siapakah yang menahan tumbuhnya gigi bayi? Semuanya serba halus, lembut, dan nyaris tidak ada yang mengetahuinya.

b. Dia menghamparkan alam raya ini untuk makhlukNya. Allah memberi kepada semua makhlukNya melebihi yang diminta. Kita tidak pernah minta hidup di dunia ini, tapi Dia menganugerahi kehidupan. Kita tidak pernah ingin dijadikan manusia, tapi Allah menakdirkan kita menjadi manusia. Kita tidak pernah minta bisa berbicara, tapi Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara. Dia telah memberi sebelum diminta. Di sisi lain, Dia tidak pernah menuntut balas, juga tidak memberi beban melebihi kemampuan makhlukNya. Adakah yang lebih santun dari Dia?

c. Dia berkeinginan agar semua makhlukNya mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan. Dia tidak ingin makhlukNya mendapati kesulitan. Al-Qur’an bertutur: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kalian dalam kesulitan.”

Itulah sebabnya, Allah menyiapkan berbagai sarana dan prasarana kehidupan dan memberi kemudahan kepada manusia untuk mendapatkannya. Allah melengkapi makhlukNya dengan berbagai indera, selain naluri yang bersifat alamiah. Khusus untuk manusia, Allah mengaruniakan akal pikiran dan hati nurani. Dua sarana yang dikaruniakan Allah itulah yang menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi.


(31) Al-Khabiir (Maha Mengetahui Rahasia)

Yang mengetahui segala perkara batin, yang tersembunyi, dan mengetahui hakikat dari segala perkara dan kejadian. Al-Khabiir berasal dari akar kata khabara, yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kelemahlembutan. 

Dalam Al-Qur’an, kata ini dipakai sebanyak 55 kali. Ada yang berdiri sendiri, tapi lebih banyak lagi yang digandengkan dengan Asmaul Husna yang lain, seperti Al-Hakiim Al-Khabiir, Al-Lathif Al-Khabiir, Al-Khabiir Al-Bashir, dan Al-Aliim Al-Khabiir.

Dalam Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama RI, antara Al-Aliim dengan Al-Khabiir itu terjemahannya sama, yaitu Yang Maha Mengetahui. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan arti yang signifikan. Al-Aliim mencakup pengetahuan Allah tentang sesuatu dari sisiNya, sementara Al-Khabiir adalah pengetahuanNya yang menjangkau sesuatu yang diketahui. Jika yang pertama (Al-Aliim) tekanannya lebih kepada yang mengetahui, sedang pada yang kedua (Al-Khabiir) justru yang menjadi titik tekannya adalah sesuatu yang diketahui.

Ketika Al-Qur’an berbicara tentang ajal, sesuatu yang sangat rahasia, dimana manusia tidak bisa mengetahui secara pasti, maka rangkaian sifat Allah yang digunakan untuk memperjelasnya adalah Al-Aliim Al-Khabiir, sebagaimana ayat berikut ini: “Tidak seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).

Demikian juga ketika membahas tentang kualitas kemuliaan dan ketaqwaan seseorang, yang hanya Dia yang mengetahuinya, Al-Qur’an menggunakan rangkaian Al-Aliim Al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Lain halnya ketika Al-Qur’an berbicara tentang hak prerogatif Allah, berupa rahmat atau adzab, rangkaian kata yaang dipakai adalah Al-Hakiim Al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Barangsiapa yang dijauhkan adzab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata. Jika Allah menimpakan suatu? Kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Dan Dia lah yang berkuasa atas sekalian hamba-hambaNya. Dan Dia lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 16-18)
.
Rangkaian kata yang sama digunakan Al-Qur’an ketika berbicara tentang rincian perilaku makhlukNya yang menyimpang maupun yang lurus. Allah berfirman, “Segala puji bagi Allah, yang memiliki segala yang ada di langit dan di bumi; bagiNya segala puji di akhirat. Dia lah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia mengetahui apa yang merasuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.” (QS. Saba: 1-2).

Pasangan lainnya adalah Al-Lathif Al-Khabiir. Pasangan ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sangat rahasia, sehingga indera biasa tak bakal mengetahuinya. Allah berfirman, “Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi ia mencapai segala indera. Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103).

Rangkaian terakhir adalah Al-Khabiir Al-Bashir, yang dipakai Al-Qur’an untuk menggambarkan pengetahuan Allah tentang segala kebutuhan hamba-hambaNya. Allah berfirman, “Sekiranya Allah melapangkan rezeki bagi hamba-hambaNya, niscaya mereka akan berbuat semaunya di muka bumi. Tetapi Dia menurunkannya sesuai dengan ukuran yang dikehendakiNya; terhadap hamba-hambaNya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (QS. Syuura: 27).

Tiada daun kering yang jatuh dari tangkainya, kemudian ditiup angin sehingga di bumi mana jatuhnya, kecuali Dia mengetahuinya. Tiada semut hitam yang berjalan di batu hitam di malam yang kelam, kecuali Dia pula yang mengetahuinya. Kedipan mata, degupan jantung, dan kehendak dalam hati, diketahuiNya pula. Lalu ke mana kita bisa menghindar dari pantauanNya.


(32) Al-Halim (Maha Penyantun)

Yang sangat penyantun dan juga terhadap orang-orang yang paling dimurkainya sesudah orang itu bertaubat.
“Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235) 

Dalam Al-Qur’an, kata Al-Halim tidak hanya khas milik Allah, tapi atribut ini bisa disandang manusia pilihan yang mempunyai sifat dan karakter penyantun. Mereka itu adalah Nabi Ibrahim as, dalam surah At-Taubah (9): 114 dan surah Hud (11): 75. Orang kedua adalah Nabi Ismail, dalam surah As-Shafat (37): 101. Kedua nabi tersebut mendapatkan julukan Al-Halim langsung dari Allah swt. Adapun orang ketiga adalah Nabi Syuaib, dalam Hud (11): 87. Bedanya, yang memberi gelar Al-Halim adalah kaumnya sebagai sindiran atas keteguhan dan kesantunannya dalam memperjuangkan misi kenabian.

Sekalipun ada manusia yang bergelar Al-Halim, sikap santun Allah berbeda: tidak dibatasi ruang dan waktu. Ia bersifat konstan. Dia yang menyaksikan kedurhakaan para pendurhaka, melihat pembangkangan para pembangkang, Dia masih memberi kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri. Dia begitu santun walau kekuasaanNya meliputi langit dan bumi.

Marilah kita renungkan sifat santun Allah melalui hadits di bawah ini: “Seorang hamba Allah melakukan dosa, lalu berdo’a: wahai Tuhanku! Ampunilah dosaku. Allah swt berfirman, ‘HambaKu telah melakukan dosa, tetapi ia tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa atau menghukumnya karena melakukan dosa. Kemudian hamba tersebut melakukan dosa lagi, lalu berdo’a: ‘Wahai Tuhanku! Ampunilah dosaku.’ Allah swt berfirman, ‘HambaKu melakukan dosa, tetapi ia tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa dan menghukumnya karena melakukan dosa. Oleh karena itu berbuatlah sesuka hatimu, Aku akan ampunkan dosamu...’” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Allah Maha Penyantun. Dia tidak memutuskan rizkiNya kepada orang yang melakukan dosa, tidak bersegera menjatuhkan hukuman kepada orang yang durhaka. Hadits qudsi berikut ini menggambarkan betapa Maha SantunNya Allah swt: “Jika engkau mengingatKu, Aku pun mengingatmu; jika engkau lupa kepadaKu, aku tetap mengingatmu. Jika engkau taat kepadaKu, maka pergilah kemana pun yang kau kehendaki. Engkau jadikan Aku pelindungmu, maka aku melidungimu; engkau tulus kepadaKu, Akupun tulus kepadamu; engkau berpaling dariKu, Aku menuju kepadamu. Siapakah yang memberimu makan ketika engkau masih berbentuk janin dalam perut ibumu? Aku yang terus-menerus melakukan pentadbiran yang sempurna kepadamu, sehingga rencanaKu terlaksana pada dirimu. Tetapi ketika engkau Ku keluarkan menuju ke pentas bumi, engkau bergelimang di dalam dosa. Bukan begitu pembalasan kepada yang berbuat baik kepadamu.” 



(33) Al-Azhim (Maha Agung)

Yang Maha Agung. Yang tak mungkin dapat digambarkan dengan akal, dan tak mungkin dapat dibahas dengan ilmu pengetahuan. 

“Dan bagiNya lah keagungan di langit dan di bumi.” (QS. Al-Jatsiyah: 37) 

Kata azhim pada dasarnya terambil dari kata azhama, yang berarti agung atau besar. Secara fisik, agung itu berarti besar, panjang, lebar, tinggi, sekaligus dalam. Ada yang bisa dijangkau dengan kasat mata, ada yang tidak. Gunung yang besar dan tinggi disebut agung karena kebesaran dan ketinggiannya, sekalipun masih dapat dijangkau oleh pandangan mata. Demikian juga binatang gajah disebut agung dibanding binatang lainnya karena fisiknya yang besar dan berat.

Di samping keagungan yang bersifat fisik atau materiel, ada juga keagungan yang bersifat immateriel, seperti keagungan perilaku atau akhlaq. Rasuullah saw dipuji oleh Allah karena akhlaqnya yang agung. Dia berfirman, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlaq agung (mulia).” (Al-Qalam: 4) 

Semua keagungan makhluk Allah tetap terbatas, yang berarti terjangkau oleh akal. Hanya ada satu keagungan yang berada di atas semua jenis keagungan. Dia lah Yang Maha Agung, Allah swt. Mata manusia tidak mampu memandangNya, dan akal manusia tidak dapat menjangkau hakekat wujudNya.

Allah Maha Agung karena keagungannya berada di atas segala yang agung, bahkan keagungan segala yang agung di dunia itu merupakan anugerah, kasih dan sayangNya. Allah Maha Agung, karena keagunganNya tak bertepi serta tidak dapat diukur dengan apa pun.

Allah Maha Agung karena akal manusia berlutut di hadapanNya. Jiwa manusia gemetar dan larut dalam cintaNya. Di hadapanNya semua wujud menjadi kecil dan tak berarti apa-apa. Semua makhluk membutuhkan pertolonganNya. Tiada suatu apa pun yang dapat menolak ketetapanNya.

Terhadap hal ini, Allah menegaskan melalaui firmanNya dalam hadits qudsi: “Kebesaran adalah selendangKu, sedang Keagungan adalah pakianKu. Barangsiapa merampas salah satu (dari keduanya) Aku lempar dia ke neraka Jahannam.” (HR. Abu Dawud).

Hadits di atas menegaskan dua hal. Pertama, kita harus senantiasa menyucikan namaNya dengan cara mengagungkanNya. Artinya, kita harus tetap meyakini bahwa tiada sedikit pun cela, kekurangan, dan sifat negatif pada Allah swt. Jika terbesit dalam hati kita keraguan tentang kesempurnaan Allah, maka kita harus segera beristighfar dan meminta ampunanNya.

Kedua, kebesaran dan keagungan itu hanya milik Allah. Dia lah yang paling berhak menyandangnya. Sedangkan kita adalah makhlukNya yang hanya bisa menjadi agung dan mulia karena memuliakanNya, menjalankan syari’atNya, dan mengagungkan syiaar-syiarNya. “Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (QS. Al-hajj: 32)


(34) Al-Ghafur (Maha Pengampun)

Yang sangat suka, senang dan obral memberikan ampunan sekalipun seseorang mempunyai kesalahan memenuhi antara langit dan bumi, bila benar-benar taubat dan minta ampun, diampuni oleh Allah.

“Kabarkan olehmu (Wahai Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hijr: 49) 

Kata Al-Ghafur berasal dari kata dasar ghafara, sama dengan Al-Ghaffar yang sama-sama merupakan nama sekaligus sifat Allah. Al-Qur’an tak kurang dari 91 kali menyebut kata Al-Ghafur. Sebagian besar dirangkai dengan nama dan sifat Allah yang lain, sebagian sisanya berdiri sendiri. Dari sekian banyak ayat, kata Al-Ghafur lebih banyak disandingkan dengan kata Ar-Rahiim (tak kurang dari 70 kali). Hal itu memberi kesan bahwa sifat GhafurNya lebih merupakan derivasi dari sifat kasih dan sayangNya.

Betapa tidak! Allah memberi ampunan kepada setiap mukmin yang bertaubat dan bersungguh-sungguh meminta ampunanNya. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian ia tetap mengikuti jalan (petunjuk) yang benar.” (QS. Thaahaa: 82)

Bahkan kepada mereka yang telah melampaui batas dan tidak serta merta meminta ampunan sekalipun, Dia tetap berlapang untuk mengampuninya.“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Tentu saja tetap ada batasnya, yaitu syirik. Untuk jenis dosa yang satu itu Allah tak akan memberi ampunan sampai yang bersangkutan bertaubat dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa: 48)

Sebagai hambaNya Al-Ghafur, patut kita meneladani sifat tersebut dengan senantiasa berlapang dada, memberi maaf kepada mereka yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah melakukan kesalahan kepada kita. Kita tetap memberi maaf kepada mereka yang meminta maaf ataupun yang tidak, yang mengakui kesalahannya maupun yang tidak.


(35) As-Syakuur (Maha Menghargai)

Yang sangat berterima kasih. Yang pasti membalas setiap pujian, sanjungan atau ibadah manusia yang ditujukan kepadaNya oleh hamba-hambaNya yang taat dan taqwa kepadaNya.

Allah swt selalu berterimakasih kepada hambaNya yang berbuat kebaikan, sekecil apapun. Meski kebaikan manusia adalah untuk diri mereka sendiri dan Allah sama sekali tidak mendapatkan imbalan apapun dari kebaikan tersebut, Dia berterima kasih dengan cara memberikan pahala yang berlipat ganda atas kebaikan tersebut.

Tak cukup hanya dengan pahala, ternyata terima kasih Allah diwujudkan dalam bentuk lain, berupa pujian yang berulang-ulang. Allah memuji manusia yang berbuat baik sesuai dengan ketentuanNya dengan menyebut-nyebut namanya, menyebut kebaikannya, dan mengumumkannya pada seluruh penduduk bumi dan penghuni langit. Allah berseru pada seluruh malaikat, catatlah si Fulan telah melakukan satu kebaikan dan Aku mencintainya. Jika Allah telah mencintai seorang hamba, maka seluruh malaikat pun mencintainya.

Bentuk lain dari terima kasih Allah atas kebaikan manusia adalah dengan mengangkat derajatnya. Betapa banyaknya manusia yang berbekal sedikit kebaikan, tapi Allah mengangkat derajatnya sehingga secara otomatis mereka mendapatkan posisi yang baik, kedudukan yang terhormat, dan status sosial yang tinggi. Jika dihitung-hitung, sungguh kebaikan yang sedikit itu tidak ada artinya sama sekali. “Dan sebutan namamu Aku populerkan.” (QS. Al-Insyirah: 4)

Jika Allah telah memberi teladan kepada kita tentang syukur, bagaimana dengan kita? Pertama, kita harus bersyukur kepada Allah dengan memuji namaNya. Segala nikmat, karunia, rezeki, keutamaan, fasilitas, dan semua pemberian Allah haruslah kita gunakan untuk amal kebaikan. Ketaatan adalah bukti yang paling nyata dari rasa syukur kita kepada Allah swt. Seribu atau sejuta pujian belum bisa menggambarkan kesyukuran tanpa adanya ketaatan.

Kedua, selain bersyukur kepada Allah kita harus berterimakasih kepada manusia. Jika kita mendapatkan kebaikan dari orang lain, sekecil apapun kebaikan itu, maka wajib bagi kita untuk mengucapkan terimakasih kepadanya, kebaikan mereka hendaknya kita balas dengan kebaikan yang lebih banyak.



(36) Al-Aliy (Maha Tinggi)

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al-A’la: 1) 

Kata Al-Aliy dalam Al-Qur’an disebutkan sebelas kali, sembilan di antaranya merupakan asma Allah yang dirangkai dengan asmaNya yang lain. Dirangkai dengan kata Al-Kabir sebanyak lima kali, dirangkai dengan Al-Adzim dua kali, dan disambungkan dengan kata Al-Hakim sebanyak dua kali.

Dalam Al-Qur’an juga ditemukan penggunaan bentuk superlatif dari kata Al-Aliy, yaitu Al-A’la (yang Lebih Tinggi) sebagaimana yang tercetak di awal tulisan ini. Bahkan Al-Qur’an juga mengabadikan klaim Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan Yang Lebih Tinggi, dengan kata-kata yang populer: Ana Rabbukumul a’la. Hingga Allah merendahkan dan menghancurleburkannya.

Allah adalah Tuhan Yang Maha Tinggi. Dia mengalahkan dan menaklukkan seluruh yang ada, dan tak satu pun di antaranya yang mampu menolak titah dan ketentuanNya. Termasuk manusia yang kafir, boleh jadi mereka menentang Allah, tapi fisiknya pada akhirnya menyerah terhadap ketentuanNya. Mereka menjadi tua, lemah, sakit-sakitan, dan kemudian mati. Tak seorang manusia kafir pun yang dapat menepis ketentuan ini.

Apalagi makhluk yang lain, semua tunduk patuh, bahkan senantiasa bersujud kepada Allah, bertasbih. Al-Qur’an menyebutkan: “Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang. Gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar dari manusia? Dan banyak di antara manusia yang (tidak menjalani sujud) telah ditetapkan adzabnya.” (QS. Al-Hajj: 18).

Sujud adalah simbolisasi dari “merendah” serendah-rendahnya. Pada posisi sujud, kepala atau kening kita yang menjadi simbol kehormatan dan kemuliaan kita justru langsung menyentuh bumi yang sehari-hari kita injak dan rendahkan. Itulah posisi terbaik kita sebagai hamba ketika berhadapan dengan Allah swt. Itulah sebabnya, dalam posisi seperti itu, ketika shalat, dianjurkan kepada kita untuk membaca: “Subhana rabbiyal a’la,” Maha Suci Tuhan Yang Maha Tinggi.

Sujud hanya boleh kita lakukan kepada Allah swt. Kita tidak boleh sujud kepada siapa pun, dan kepada apa pun, karena Allah telah memuliakan kedudukan kita sebagai manusia. Kita adalah makhluk yang terhormat, mulia, lagi sempurna. Sangat naif jika kita bersembah diri kepada sesama manusia, apalagi kepada jin atau syaitan yang justru pernah diperintah Allah secara langsung bersujud kepada kita. Sungguh aneh jika ada orang yang takut, apalagi taat kepada jin dan syaitan.

“Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka bersujudlah mereka semua, kecuali Iblis. Dia enggan dan sombong karenanya dia termasuk golongan yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Kita adalah hamba Allah yang paling sempurna, karenanya kita harus meneladani sifat Allah, Al-Aliy dengan jalan menghiasi diri kita dengan himmah (ambisi positif) untuk meraih kemuliaan dan derajat yang tinggi. Caranya sederhana, lakukan hal-hal yang mulia dan bernilai tinggi, dan jauhi hal-hal yang rendah, remeh. Hidup kita hanya sekali, untuk itu yang sekali itu harus bernilai tinggi.


(37) Al-Kabir (Maha Besar)

Yang Maha Besar yang tak dapat dihinggakan dengan akal akan kebesaranNya, dan akal tidak sanggup mencapai hakikatnya. Membesarkan nama Allah seharusnya tidak hanya dalam shalat. Kapan dan dimana pun setiap manusia harus senantiasa membesarkanNya. PanggilanNya lah yang harus diutamakan untuk didengar dibanding dengan panggilan siapapun. Aturan (syari’ah)Nya lah yang seharusnya lebih ditaati daripada semua aturan yang ada. Hanya Dia yang Maha Besar.

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, karena sesunguhnya Allah, Dia lah (Tuhan) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil (sia-sia), dan sesungguhnya Allah, Dia lah yang Maha tinggi lagi Maha besar.” (Al-Hajj: 62) 

Kebesaran Allah tak bertambah sedikitpun dengan takbir kita, demikian juga sebaliknya, kebesaranNya tak berkurang sekalipun semua makhlukNya tiada yang membesarkanNya. Kita takbir (membesarkanNya), karena kita butuh kepadaNya. Kita bertakbir, karena kita ingin membesarkan jiwa kita dengan membebaskan diri dari semua oknum yang mengaku “besar” atau justru kita “besar-besarkan.” Hanya dengan takbir kita terbebas dari segala belenggu kejiwaan yang selama ini mengungkung kita.

Allah tak membutuhkan takbir kita, sebab Dia memang Maha Besar. Sang Penyandangnya (Al-Kabir) tidak membutuhkan pihak lain dalam segala hal, mulai dari yang kecil hingga paling besar. Justru semua pihak tak terkecuali membutuhkanNya, karena semua diciptakan hanya untuk bergantung kepadaNya.

Allah Maha besar karena Dia abadi, tiada awal dan tiada akhir. Adapun semua makhlukNya diciptakan dalam batasan waktu. Ada awal dan ada akhirnya. Ada proses awal keberadaannnya dan akan berakhir dengan kepunahannya. Ada kelahiran dan ada kematiannya.

Dia Maha Besar, karena keberadaannya merupakan sumber terpancarnya semua makhluk. Dia lah yang merupakan sumber keberadaan semua makhluk. Dia wajibul wujud (keberadaanNya wajib), sedang manusia dan semua makhluk yang ada lebih pantas disebut mumkinul wujud (keberaannya hanya sebatas mungkin). Semua manusia boleh ada dan boleh juga tidak ada. Ketiadaannya tidak menjadikan yang lain menjadi tidak ada. 

Allah membenci setiap manusia yang merasa besar dan menyombongkan diri. Allah berfirman, “Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.” (An-Nisaa: 173)

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Qashash: 83)


(38) Al-Hafiz (Maha Memelihara)

Yang memelihara atau melindungi segala makhlukNya, dari segala bahaya atau kerusakaan. Al-Hafiz berarti Allah Maha Menjaga. Allah swt menjaga seluruh makhluknya. Tidak ada satupun makhluk yang terlewat dari penjagaannya. Alam semesta beserta isinya jika tidak dijaga akan mengalami kerusakan. Dalil dari sifat Al-Hafiz adalah sebagai berikut, “...Sesungguhnya Tuhanku Maha Pemelihara segala sesuatu.” (QS. Hud (11) ayat 57)

Dalil naqli yang menerangkan Asmaul Husna adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi saw, “Dari Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu; barang siapa yang menghitungnya (menghafalnya) ia masuk surga.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Hasyr: 24, “Dia lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaul Husna. Bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. Dan Dia lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Begitu besarNya Dia, sehingga segala sesuatu dapat dipeliharaNya, tanpa pilih kasih, manusia yang kecil, yang sempit wawasannya tidak bisa mengasihi setiap orang. Manusia juga tidak bisa disebut sang pemelihara. Kita hanya memelihara keluarga kita sendiri dan itu pun karena kehendakNya. Tanpa rahmatNya kita tidak dapat melakukan apapun. Sebagai pemelihara dan melestarikan sifat-sifat bijak kita. Ia memberikan kepada fisik kita, ia pula yang memenuhi kebutuhan rohani kita. Pada saat melemah Dia lah sumber kekuatan, karena Dia adalah yang memberi kekuatan (Al-Muqit). 


(39) Al-Muqit (Maha Pemberi Kecukupan)

Yang menyediakan makanan dan minuman bagi segala makhlukNya yang membutuhkan makanan dan minuman. Lafal Al-Muqit mempunyai arti bahwa Allah, Dzat adalah Pencipta makanan jasmani dan rohani, dan Dia pulalah yang memberikan kepada semua yang maujud makanan yang mencukupi berupa makanan fisik (sesuatu yang dapat dicapai dengan indera) dan maknawi (sesuatu yang tidak dapat dicapai dengan indera). Makanan hewan bersifat materi yang sesuai dengannya, dan makanan jiwa adalah ilmu pengetahuan; sedangkan makanan malaikat adalah taat.

Al-Muqit artinya sama dengan Ar-Razzaq, namun ia lebih khusus. Sebab, rezeki itu bisa mencakup makanan atau lainnya, sedangkan Al-Muqit itu adalah yang bertanggung jawab atas sesuatu dengan kekuasaan dan ilmu. Allah swt berfirman yang artinya: “…Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisaa’: 85)

Yakni, Yang Maha Kuasa secara mutlak. Jadi, maknanya kembali kepada kekuasaan dan ilmu. Atas dasar itulah Al-Muqit merupakan ism dari sifat yang tidak menunjukkan kekuasaan saja atau ilmu saja, tetapi ia menunjukkan terkumpulnya dua arti tersebut.

Berakhlak dengan ism ini mengharuskan Anda tidak meminta semua keperluan Anda selain kepada Allah swt, sebab perbendaharaan rezeki itu berada di tanganNya. Dalam salah satu hadis qudsi, Allah swt berfirman yang artinya: “Wahai Musa, mintalah kepadaKu apa saja, sekalipun hanya tali sandalmu atau garam dapurmu!”


(40) Al-Hasiib (Maha Membuat Perhitungan)

Yang memperhitungkan segala hal. Segala sesuatu diciptakan dan diaturNya dengan perhitungan yang amat teliti dan benar. Setiap sesuatu diciptakan dan dijadikan dalam perhitungan-perhitungan yang sejelas-jelasnya.

Nama Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Agung ini disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an: “Dan cukuplah Allah sebagai pemberi kecukupan.” (An-Nisaa’: 6).

“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, mereka takut kepadaNya dan tidak merasa takut kepada siapapun selain kepadaNya. Dan cukuplah Allah sebagai pemberi kecukupan.” (Al-Ahzaab: 39).

Maka makna nama Allah azza wa jalla Al-Hasiib adalah Yang Maha Mencukupi hamba-hambaNya dalam semua kebutuhan mereka, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia, Dia yang memudahkan bagi mereka segala kebaikan dan mencegah dari mereka segala keburukan.

Termasuk makna namaNya Al-Hasiib adalah bahwa Maha Menjaga, Menghitung dan Mengetahui semua amal perbuatan para hambaNya, Membedakan antara amal yang baik dan buruk, serta Mengetahui balasan yang berhak mereka dapatkan dan kadar pahala atau siksaan yang mereka terima.

Syaikh ‘Abdur Rahman As-Sa’di memerinci penjabaran makna nama Allah ta’ala yang Maha Agung ini dalam ucapan beliau: “Al-Hasiib adalah yang Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hambaNya, yang Maha Memberi Kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal kepadaNya, dan Maha Memberikan Balasan (yang sempurna) bagi para hambaNya dengan kebaikan atau keburukan sesuai dengan hikmahNya (yang Maha Tinggi) dan pengetahuanNya (yang Maha sempurna) tentang amal perbuatan mereka yang besar maupun kecil.

Al-Hasiib (juga) bermakna yang Maha mengawasi dan memperhitungkan (amal perbuatan) hamba-hambaNya, serta memberikan balasan bagi mereka dengan keadilan (yang sempurna) dan keutamaan (dariNya). Juga bermakna yang Maha Mencukupi hambaNya dalam (segala) kesedihan dan kekalutannya. (Makna yang) lebih khusus dari semua itu, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala Maha Memberi Kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal kepadaNya.

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan (segala keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaaq: 3).

Demikian juga Al-Hasiib adalah yang Maha Menjaga dan Memperhitungkan semua amal perbuatan hamba-hambaNya, yang baik maupun buruk, (kemudian memberikan balasan yang sempurna), jika amal baik maka akan mendapatkan balasan yang baik, dan jika buruk maka akan mendapatkan balasan yang buruk. 

Allah azza wa jalla berfirman, “Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikuti (petunjuk)mu.” (QS. Al-Anfaal: 64).


(41) Al-Jalil (Maha Agung)

Yang bersifat dengan sifat-sifat yang mulia, yang benar-benar mulia. Dia lah Tuhan Yang Maha agung dan Maha Perkasa. Tidak ada energi, materi, atau waktu yang menyamai keagungan, keperkasaan, dan kekekalanNya. DzatNya, sifatNya dan eksistensinyNya agung dan besar; tak dapat diukur dalam waktu dan tak bertempat, tetapi Dia di sini, dimana-mana, dan di segala zaman.

Al-Jalil ialah Dzat Yang Maha Besar keadaanNya, dan tampak nyata urusanNya. Tidak ada sesuatu pun yang menandingi Dzat, sifat, dan perbuatanNya. Dia lah yang mempunyai sifat Jalal (kebesaran). Dan sifat Jalal itu ialah Al-Ghaniy, Al-Malik, Al-Quddus, Al-Aliim, Al-Qadir, dan lain-lain sifat yang telah kami sebutkan. Yang mengumpulkan semua sifat ini adalah Al-Jalil yang mutlak, yaitu Allah swt. Sebab, semua keelokan, kesempurnaan, dan kebaikan yang ada di alam ini semua berasal dari cahaya DzatNya dan bekas-bekas sifatNya. Tidak ada maujud yang memiliki kesempurnaan secara mutlak kecuali Allah. Karena itulah, orang yang mengenalNya dan yang memandang keelokanNya mendapatkan perasaan senang, lezat, dan gembira, yang menjadi sebab mereka berhak mendapatkan surga. Jika Dia telah pasti sebagai Dzat yang Jalil dan Jamil, maka semua yang indah itu tentu dicintai dan dirindukan oleh mereka yang memahami keindahannya.


(42) Al-Karim (Maha Mulia)

Yang amat pemurah, sehingga Ia berikan segala kebutuhan dari segala makhluk-makhlukNya tanpa diminta lebih dahulu, dan diberikan tanpa wasilah, tanpa perantara.

Secara bahasa, Al-Karim mempunyai arti Yang Maha Mulia, Yang Maha Dermawan atau Yang Maha Pemurah. Secara Istilah, Al-Karim diartikan bahwa Allah swt Yang Maha mulia lagi Maha Pemurah yang memberi anugerah atau rezeki kepada semua makhlukNya. Dapat pula dimaknai sebagai Dzat yang sangat banyak memiliki kebaikan, Maha Pemurah, Pemberi Nikmat dan Keutamaan, baik ketika diminta maupun tidak. Hal tersebut sesuai dengan firmanNya: 



“Hai manusia apakah yang telah memberdayakanmu terhadap Tuhan Yang Maha Pemurah?” (QS. Al-Infitar: 6)

Al-Karim dimaknai Maha Pemberi karena Allah swt senantiasa memberi, tidak pernah terhenti pemberianNya. Manusia tidak oleh berputus asa dari kedermawanan Allah swt. Jika miskin dalam harta, karena kedermawananNya tidak hanya dari harta yang dititipkan melainkan meliputi segala hal.

Manusia yang berharta dan dermawan hendaklah tidak sombong jika telah memiliki sifat dermawan karena Allah swt tidak menyukai kesombongan. Dengan demikian, bagi orang yang diberikan harta melimpah maupun tidak dianugerahi harta oleh Allah swt, keduanya harus bersyukur kepadaNya karena orang yang miskin pun telah diberikan nikmat selain harta.

Al-Karim juga dimaknai Yang Maha Pemberi Maaf karena Allah swt memaafkan dosa para hamba yang lalai dalam menunaikan kewajiban kepada Allah swt, kemudian hamba itu mau bertaubat kepada Allah swt. Bagi hamba yang berdosa, Allah swt adalah Yang Maha Pengampun. Dia akan mengampuni seberapa pun besar dosa hambaNya selama ia tidak meragukan kasih sayang dan kemurahanNya.

Menurut Imam Al-Ghazali, Al-Karim adalah Dia yang apabila berjanji, menepati janjiNya, bila memberi, melampaui batas harapan, tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi dan tidak rela bila ada kebutuhan dia memohon kepada selainNya, meminta kepada orang lain. Dia yang bila kecil hati menegur tanpa berlebih, tidak mengabaikan siapa yang menuju dan berlindung kepadaNya, dan tidak membutuhkan sarana atau perantara.


(43) Al-Raqiib (Maha Mengawasi)

Yang mengamati segala, sehingga tidak ada satu perkara atau kejadian yang terjadi tidak dengan setahuNya. Nama Allah swt yang Maha Agung ini disebutkan dalam tiga ayat Al-Qur’an: 

“Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu sekalian.” (An-Nisaa’: 1).

“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 52)

“Dan akulah yang menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau lah Yang Maha Mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (Al-Maaidah: 117).

Ibnu Faris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan makna yang satu, yaitu berdiri (tegak) untuk mengawasi atau memperhatikan sesuatu. Sedangkan Al-Fairuz Abadi rahimahullah dalam Al-Qamuusnya menjelaskan bahwa nama ini secara bahasa berarti pengawas, penunggu dan penjaga. Sementara itu, Ibnul Atsir rahimahullah dan Ibnu Manzhur rahimahullah menjelaskan bahwa nama Allah Al-Raqib berarti Maha Penjaga/Pengawas yang tidak ada sesuatu pun yang luput dariNya. Demikian pemaparan para ulama lughah (bahasa) tentang makna kata Ar-Raqiib melalui tinjauan bahasa. 

Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat pertama di atas, beliau menjelaskan bahwa makna Ar-Raqiib adalah zat yang Maha mengawasi semua perbuatan dan keadaan manusia.

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ar-Raqiib adalah zat yang Maha memperhatikan dan mengawasi semua hambaNya ketika mereka bergerak (beraktifitas) maupun ketika mereka diam, (mengetahui) apa yang mereka sembunyikan maupun yang mereka tampakkan, dan (mengawasi) semua keadaan mereka.” Di tempat lain beliau berkata, Ar-Raqiib adalah Dzat yang Maha mengawasi semua urusan (makhlukNya), Maha Mengetahui kesudahannya, dan Maha Mengatur semua urusan tersebut dengan sesempurna-sempurna aturan dan sebaik-sebaik ketentuan.

Maka makna Ar-Raqiib secara lebih terperinci adalah Dzat Yang Maha Memperhatikan (mengetahui) segala yang tersembunyi dalam dada (hati) manusia, yang Maha Mengawasi apa yang diusahakan setiap diri manusia, Yang Maha Memelihara semua makhluk dan mengatur mereka dengan sebaik-baik aturan dan penataan paling sempurna, yang Maha Mengawasi semua yang terlihat dengan penglihatanNya, tidak ada sesuatu pun yang luput dariNya, yang Maha Mengawasi semua yang terdengar dengan pendengaranNya yang meliputi segala sesuatu, yang Maha Mengawasi (memperhatikan) semua makhluk dengan ilmuNya yang meliputi segala sesuatu.

Pengaruh positif yang paling utama dengan mengimani nama Allah azza wa jalla yang agung ini adalah senantiasa merasakan muraqabatullah (pengawasan dari Allah azza wa jalla) dalam semua keadaan kita, dan timbulnya rasa malu yang sesungguhnya di hadapanNya. Kondisi ini akan mendorong seorang hamba untuk selalu konsisten melakukan ketaatan kepadaNya dan menjauhi semua perbuatan maksiat, dimanapun ia berada.

Muraqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah azza wa jalla) adalah kedudukan yang sangat tinggi dan agung dalam Islam, sekaligus merupakan tahapan utama untuk menempuh perjalanan menuju perjumpaan dengan Allah azza wa jalla dan negeri akhirat.


(44) Al-Mujiib (Maha Mengabulkan)

Yang mengabulkan do’a-do’a hamba-hambaNya yang berdo’a kepadaNya. Al-Mujiib, nama ini memiliki arti Allah Yang Mengabulkan atau Yang Memperkenankan. Allah memperkenankan bagi do’a orang yang berdo’a, permintaan orang yang meminta, dan ibadah orang yang beribadah. 

Pengabulan do’a yang diberikan Allah kepada hambanya terbagi dua: yang pertama yaitu pengabulan yang bersifat umum bagi setiap orang yang berdo’a, baik do’a yang berupa ibadah maupun do’a yang berupa permintaan (masalah). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an Surah Al-Mu’min ayat 60: “Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…’” 

Pengabulan do’a jenis kedua yang diberikan Allah kepada hambaNya yaitu pengabulan do’a yang bersifat khusus. Adapun pengabulan yang khusus ada beberapa sebab, di antaranya adalah do’a orang yang mudhtharr (kesulitan), yang tertimpa kesusahan, dan terkena musibah yang besar/berat. Allah azza wa jalla berfirman, “Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepadaNya…” (QS. An-Naml: 62)


(45) Al-Waasi’ (Maha Luas)

Yang amat luas kekayaanNya sehingga sanggup memenuhi segala kebutuhan hamba-hambaNya. Allah memperkenalkan dirinya sebagai Al-Waasi’ (yang Maha Luas), “…Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui...” (QS. Al-Baqarah: 115)

Al-Waasi’ menurut Ibnu Manzhur adalah Dzat yang rezekinya mencukupi seluruh makhlukNya, rahmatNya meluas ke segala sesuatu dan kekayaanNya mencukupi segala yang membutuhkan. Menurut Ibnu Anbari, Al-Waasi’ adalah salah satu asma Allah, yang berarti banyak memberi, yang memberi semua yang dipinta.

Khatabi berpendapat bahwa Al-Waasi’ berarti yang kaya, yang luas kekayaanNya mencukupi kebutuhan hamba-hambaNya, dan yang luas rezekiNya meliputi segala makhlukNya. Dan keluasan menurut pengertian bahasa Arab berarti juga kekayaan. Jika dikaitkan, Allah memberi karena keluasanNya, maka artinya Allah memberi karena kekayaanNya.

Makna luas disini tidak terbatas pada kekayaan, kedermawanan dan kebaikan Allah saja, sebagaimana pendapat Khatabi. Tetapi lebih luas dari semua itu dan lebih agung. Pengetahuan, rahmat, ketentuan syariat, hikmah dan ampunan dari Allah.

Air yang Allah turunkan, yang mengalir di sungai dan seluruh dunia. Tumbuhan, pepohonan dan buah yang Allah keluarkan. Dan ombak di lautan. Ombak di lautan luas dan dalam. Pada semuanya itu adalah kebaikan-kebaikan yang tidak pernah disadari oleh umat manusia. Hanya hamba yang ‘melihat’ saja yang mengetahuinya. Ternasuk diantaranya juga kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian makhlukNya. 

“Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki. Allah Maha Luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247)
 
“Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang dikehendaki. Allah Maha luas karuniaNya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 61) 

“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kuasanya. Allah Maha Luas (pemberian) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)


(46) Al-Hakim (Maha Bijaksana)

Yang amat bijaksana. Segala sesuatu diciptakanNya dengan tujuan yang amat tinggi. Tidak pernah satu kejadian yang sia-sia, yang tidak ada maksud dan tujuaannya. Al-Hakim artinya Yang Memiliki Hikmah yang tinggi dalam penciptaanNya dan perintah-perintahNya, Yang Memperbagus seluruh makhlukNya. Sebagaimana firmanNya: “Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin?” (Al-Ma’idah: 50). Allah swt tidak akan menciptakan sesuatu yang sia-sia dan tidak akan mensyariatkan sesuatu yang tiada manfaatnya. 

Artinya juga adalah yang memiliki hukum di dunia dan akhirat. MilikNya lah tiga macam hukum yang tidak seorangpun menyertaiNya. Dia lah yang menghukumi di antara hambaNya, dalam (1) syariatNya, (2) taqdirNya, dan (3) pembalasanNya. Hikmah artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. (Tafsir As-Sa’di, hal. 947)

Allah swt berfirman, “Bukankah Allah adalah hakim yang seadil-adilnya?” (At-Tin: 8)

“Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (Yusuf: 80)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan: “Hikmah Allah swt ada dua macam: 

Pertama, hikmah dalam penciptaanNya. Karena sesungguhnya Allah swt menciptakan makhlukNya dengan benar dan mengandung kebenaran. Allah swt menciptakan makhluk seluruhnya dengan sebaik-baik aturan. Allah swt juga mengaturnya dengan aturan yang paling sempurna. Kepada setiap makhluk Allah swt berikan pula postur yang sesuai dengannya. Bahkan Allah swt memberikan bentuk masing-masing kepada setiap bagian dari bagian-bagian makhluk dan setiap anggota tubuh dari makhluk itu.

Kedua, hikmah dalam syariat dan perintahNya. Sesungguhnya Allah swt meletakkan syariat-syariat dan menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul agar mereka memperkenalkan Allah swt kepada hamba-hambaNya dan agar hamba-hamba beribadah kepadaNya.


(47) Al-Wadud (Maha Mengasihi)

Yang amat cinta terhadap para wali-waliNya, yaitu manusia-manusia yang menjadikan Allah tujuan hidup satu-satunya. Imam Al-Ghazali berkata, bahwasanya kata Wadud itu lebih mendekati makna rahmat, tetapi rahmat menyandarkan kebaikan kepada orang yang dikasihani, sedangkan orang yang dikasihani ialah orang yang membutuhkan dan orang yang kesulitan. Perbuatan Ar-Rahiim itu mensyaratkan orang yang dikasihani itu lemah, sedangkan perbuatan Al-Wadud itu tidak demikian. Sebab, rahmat yang diberikan Allah kepada siapa yang dikehenndakiNya, termasuk di dalamnya orang mukmin, orang durhaka, orang kuat dan orang lemah. Tetapi kasih sayangNya khusus bagi orang-orang mukmin, sebab mereka adalah orang-orang yang dikasihi oleh Allah dan mereka lah orang-orang yang khusus mendapatkan kasih sayangNya sebagai tambahan dari rahmat yang telah mereka peroleh.

Al-Wadud berarti Maha Mengasihi. Allah swt mengasihi seluruh makhluk, baik yang beriman maupun tidak beriman. Meskipun manusia melanggar larangannya, dia tidak berhenti mengaruniakan kasih sayang. Allah swt berfirman tentang sifat Al-Wadud yaitu sebagai berikut, “Dan Dia lah yang Maha Pengampun, Maha Pengasih.” (QS. Al-Buruj: 14)


(48) Al-Majiid (Maha Mulia)

Yang amat mulia atau terhormat. Lafal Al-Majiid mempunyai arti bahwa Allah adalah Dzat yang sangat sempurna kemuliaanNya, atau Yang Maha Tinggi, lagi Maha Besar kekuasaanNya, atau Yang Maha Banyak pemberianNya. Kemuliaan Dzat, bila digabungkan dengan kebaikan perbuatan, maka disebutlah ia sebagai majd.

Al-Majiid itu lebih menunjukkan kepada mubalaghah, dan seakan-akan ia menghimpunkan ism Al-Jalil, Al-Wahhab, dan Al-Karim yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu.

Berakhlak dengan ism ini mengharuskan Anda bersikap terhormat dalam setiap tindak-tanduk Anda disertai dengan adab.


(49) Al-Ba’its (Maha Membangkitkan)

Yang membangkitkan segala manusia yang sudah mati, hidup kembali di alam kubur atau alam akhirat nanti. Lafal Al-Ba’its mempunyai arti bahwa Allah adalah Dzat yang mengutus para rasul kepada umat manusia, yang membangkitkan kemauan (cita-cita) untuk naik setingkat demi setingkat di dalam medan tauhid, dan yang membangkitkan orang-orang yang ada di dalam kubur.

Dikatakan bahwa Al-Ba’its itu ialah Dzat yang membangkitkan segala yang ada dari kegelapan ketiadaan kepada cahaya keberadaan. Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa makna Al-Ba’its ialah Dzat yang menghidupkan semua makhluk pada hari kebangkitan (hari kiamat) dan yang mengetahui apa-apa yang disembunyikan di dalam dada. Al-Ba’its artinya kebangkitan di akhirat. Pengetahuan tentang ism ini tergantung pada pengetahuan tentang hakikat kebangkitan itu sendiri.

Persangkaan bahwa maut adaalah kemusnahan dan pengadaan kedua seperti pengadaan pertama, adalah suatu persangkaan yang sangat keliru. Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali. Adapun persangkaan mereka bahwa kematian sama dengan kemusnahan adalah salah, sebab kematian itu tidak lain adalah perpindahan, dan alam kubur itu termasuk permulaan dari alam akhirat, dan ia dapat berupa sebuah jurang neraka atau sebuah kebun surga.

Sedangkan orang-orang yang celaka, mereka pun hidup juga. Karena itulah Rasulullah saw menyeru orang-orang kafir Quraisy yang mati terbunuh di dalam peperangan Badr: “Aku telah mendapati apa yang telah dijanjikan oleh Tuhanku adalah benar; maka apakah kamu pun mendapati apa yang dijanjikan tuhanmu itu benar juga?”

Lalu dikatakan: “Ya Rasulullah, bagaimana Tuhan mengajak bicara suatu kaum yang sudah menjadi bangkai?”
Beliau menjawab: “Demi Allah, tidaklah kamu lebih mendengar terhadap apa yang aku ucapkan daripada mereka, hanya saja mereka tidak dapat memberikan jawaban!”

Tentang persangkaan mereka bahwa kebangkitan itu adalah penciptaan kedua, sama seperti penciptaan pertama, maka hal itu tidaklah benar. Yang benar adalah, bahwa kebangkitan itu adalah penciptaan lain yang sama sekali tidak sama dengan penciptaan pertama. Dan manusia itu banyak sekali mengalami penciptaan. Dalam kaitan ini, Allah swt berfirman, “…dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Waqi’ah: 61)

Dan firman Allah lainnya, “…Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun: 14)

Allah swt mempunyai silsilah (mata rantai) pembentukan dalam membentuk manusia. Di antaranya adaalah ruh, yang merupakan zat halus rabbani yang ilmu tentangnya berada di tangan Tuhan yang menciptakannnya, yang tidak kita ketahui kecuali sedikit. Kemudian sesudah penciptaan ruh, diciptakan pula daya rasa. Kemudian daya pembeda yang baru tampak sesudah usia tujuh tahun. Kemudian akal, sesudah usia menginjak lima belas tahun. Demikian seterusnya.

Berakhlak dengan ism ini mengharuskan Anda membangkitkan diri Anda sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah dari Anda, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan. Anda harus menggerakkan dan mengarahkan keduanya itu pada pendekatan kepada Allah, naik setingkat demi setingkat di tangganya dan mendekat dari kesempurnaan dengan izin Allah.


(50) Asy-Syahid (Maha Menyaksikan)

Yang jelas kepadaNya segala sesuatu, tidak satu perkara atau kejadian pun yang ghaib bagiNya. Asy-Syahid, nama Allah swt yang agung, menunjukkan keluasan pengetahuanNya terhadap segala aktivitas hambaNya. Dia menyaksikan segala gerak-gerik mereka dari atas sana.

Allah swt menyebut nama ini dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalam firmanNya saat memerintahkan NabiNya untuk mengatakan kepada orang-orang kafir, Katakanlah, “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah, “Allah.” Dia menjadi saksi antara aku dan kamu.” (Al-An’am: 19)

Ibnul Atsir menjelaskan dalam kitabnya Jami’ul Ushul, “Asy-Syahid adalah Dzat yang tidak tersembunyi bagiNya sesuatu pun. Disebut Syaahid dan disebut Syahiid, seperti bentuk kata Aalim dan Aliim, yakni (seolah-olah) hadir menyaksikan segala sesuatu dan melihatnya.”

As-Sa’di dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Asy-Syahid berarti yang mengetahui segala sesuatu, mendengar setiap suara, baik yang tersembunyi maupun yang jelas, melihat segala yang ada, baik yang kecil maupun yang besar. IlmuNya meliputi segala sesuatu, yang menjadi saksi bagi hambaNya dan terhadap hambaNya atas segala yang mereka lakukan.”

Beliau juga menjelaskan dalam kesempatan yang lain, Ar-Raqiib dan Asy-Syahid termasuk dari Al-Asma’ul Husna. Keduanya adalah dua nama yang sama, menunjukkan liputan pendengaran Allah swt terhadap segala sesuatu yang dapat didengar, penglihatannya terhadap segala sesuatu yang dapat dilihat, serta pengetahuanNya terhadap segala yang dapat diketahui, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Dia yang mengawasi dan mengetahui segala yang tersimpan dalam dada, yang mengawasi semua yang dilakukan oleh setiap jiwa, yang menjaga setiap makhluk dan melangsungkan kehidupannya dengan aturan yang paling bagus dan sempurna.

Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Hajj: 17)

“Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (An-Nisaa’: 79)

Oleh karena itu, muraqabah (sikap selalu merasa diawasi Allah swt) yang merupakan amalan kalbu tertinggi adalah salah satu wujud peribadatan kepada Allah swt yang berlandaskan pada dua namaNya, yaitu Ar-Raqiib dan Asy-Syahid.

Maka dari itu, ketika seorang hamba mengetahui bahwa tingkah lakunya yang nyata dan yang batin diawasi oleh Allah swt, serta senantiasa ingat hal ini pada setiap keadaan, pasti akan membuahkan pengawasan batin atas segala pikiran dan bisikan yang dimurkaiNya, serta penjagaan lahiriah atas segala ucapan dan perbuatan yang dimurkaiNya. Lantas, ia pun akan beribadah kepada Allah swt sampai pada tingkat ihsan sehingga ia beribadah kepada Allah swt seolah-olah ia melihatNya. Apabila ia tidak melihatNya, Allah swt lah yang melihatnya.

Mengimani nama Allah Asy-Syahid maka akan menumbuhkan sikap muraqabah dalam jiwa seseorang, selalu merasa diawasi Allah swt.


(51) Al-Haqq (Maha Benar)

Yang benar dan selalu bertindak benar, tak pernah keluar dari kebenaran. Allah adalah Sumber Kebenaran. Nama Allah ini beberapa kali disebutkan dalam Al-Qur’an. Yang menunjukkan bahwa ini merupakan penjelasan penting dari Tujuan Al-Qur’an. 

Lafal Al-Haqq mempunyai arti bahwa Allah, adalah Dzat yang pasti adaNya dalam arti tidak menerima kemusnahan, kebinasaan, dan perubahan; dan semuanya berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya. Kepada makna inilah jatuhnya isyarat yang disebutkan di dalam hadis Nabi saw yang artinya: “Syair Arab yang paling benar adalah perkataan Labid: ‘Ketahuilah, bahwa semua selain Allah adalah batil.’” Al-Haqq adalah lawan kata dari Al-Bathil. 


(52) Al-Wakil (Maha Memelihara)

Yang melaksanakan segala urusan mahklukNya. Kata Al-Wakil mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara. Al-Wakil (Yang Maha Mewakili atau Pemelihara), yaitu Allah swt yang memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhlukNya, baik itu dalam urusan dunia mapun urusan akhirat. Dia menyelesaikan segala sesuatu yang diserahkan hambaNya tanpa memebiarkan apa pun terbengkalai. 

Firmannya dalm Al-Qur’an: 



“Allah swt pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62)

Dengan demikian, orang yang mempecayakan segala urusannya kepada Allah swt, akan memiliki kepastian bahwa semua akan diselesaikan degan sebaik-baiknya. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh para hambaNya. Seorang yang melakukan urusannya dengan sebaik-baiknya dan kemudian akan menyelesaikan segala urusan kepada Allah swt untuk menentukan karuniaNya.

Menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah melahirkan sikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti mengabaikan sebab-sebab dari suatu kejadian. Berdiam diri dan tidak peduli terhadap sebab itu dan akibatnya adalah sikap malas. Tawakkal dapat diibaratkan dengan menyadari sebab-akibat. Orang harus berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Rasulullah saw bersabda, “Ikutlah untamu dan bertawakallah kepada Allah swt.”

Manusia harus menyadari bahwa semua urusannya adalah sebuah do’a yang aktif dan harapan akan adanya pertolonganNya. Allah swt berfirman yang artinya, “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia adalah Pemelihara sesuatu.” (QS. Al-An’nam/6: 102)

Hamba Al-Wakil adalah yang bertawakkal kepada Allah ketika telah melihat “tangan” Allah dalam sebab-sebab dan alasan segala sesuatu, dia menyerahkan seluruh hidupnya di tangan Allah.


(53) Al-Qawiy (Maha Kuat)

Yang Maha Kuat, tidak pernah merasa lemah dan capai. Al-Qawiyy berarti Maha Kuat. Dia Maha Kuat dan Maha Kuasa sehingga mampu menciptakan dan mengatur seluruh makhluknya tanpa bantuan siapa pun. 

Allah swt berfirman,


“...Sungguh, Allah Maha Kuat lagi sangat keras siksanya.” (QS. Al-Anfal: 52)



(54) Al-Matin (Maha Kokoh)

Yang sempurna kekuataanNya. Al-Matin artinya Maha Kukuh. Allah swt adalah Maha Sempurna dalam kekuatan dan kekukuhanNya. Kekukuhan dalam prinsip sifat-sifatNya. Allah swt juga Maha Kukuh dalam kekuatan-kekuatanNya. Oleh karena itu, sifat Al-Matin adalah kehebatan perbuatan yang sangat kokoh dari kekuatan yang tidak ada taranya. Dengan begitu, kekukuhan Allah swt yang memiliki rahmat dan adzab terbukti ketika Allah swt memberikan rahmat kepada hamba-hambaNya. Tidak ada apa pun yang dapat menghalangi rahmat ini untuk tiba kepada sasarannya. Demikian juga tidak ada kekuatan yang dapat mencegah pembalasanNya.

Seorang yang menemukan kekuatan dan kekukuhan Allah swt akan membuatnya menjadi manusia yang tawakkal, memiliki kepercayaan dalam jiwanya dan tidak merasa rendah di depan manusia lain. Ia akan selalu merasa rendah di hadapan Allah swt. Hanya Allah swt Yang Maha Menilai.

Oleh karena itu, Allah swt melarang manusia bersikap atau merasa lebih dari saudaranya. Karena hanya Allah swt Yang Maha Mengetahui baik buruknya seorang hamba. Allah swt juga menganjurkan manusia besabar. Karena Allah swt Maha Tahu apa yang terbaik untuk hambaNya. Kekuatan dan kekukuhanNya tidak terhingga dan tidak terbayangkan oleh manusia yang lemah dan tidak memiliki daya upaya. Jadi, karena kekukuhanNya, Allah swt tidak terkalahkan dan tergoyahkan. Siapakah yang paling kuat dan kukuh selain Allah swt? Tidak ada satu makhkluk pun yang dapat menundukkan Allah swt meskipun seluruh makhluk di bumi ini bekerja sama. Allah swt berfirman, “Sungguh Allah swt, Dia lah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.” (QS. Az-Zariyat/51: 58)

Dengan demikian, akhlak kita terhadap sifat Al-Matin adalah dengan beristikomah (meneguhkan pendirian), beribadah dengan kesungguhan hati, tidak tergoyahkan oleh bisikan meyesatkan, terus berusaha dan tidak putus asa serta bekerja sama dengan orang lain sehingga menjadi lebih kuat.


(55) Al-Waliy (Maha Melindungi)

Penolong atau yang mengendalikan seluruh urusan dari makhluk-maklukNya. Sahabat-sahabat kita di dunia ini tidaklah bisa melindungi kita, hari ini melindungi, besok tidak, hari ini sahabat, bisa jadi besok berubah menjadi musuh, bahkan ketika ada suatu bencana pun mereka tak mampu menolong kita, mereka bukanlah sahabat sejati kita, mereka hanyalah teman bagi kita, karena hanya Allah lah yang bisa melindungi kita kapan pun dan dimana pun, karena perlindunganNya tak terbatas oleh ruang dan waktu.


(56) Al-Hamiid (Maha Terpuji)

Hanya Ia saja yang berhak dipuji. Selain Allah tidak pantas dipuji, karena pasti ada cacat dan salahnya. Al-Hamiid Dia lah yang memiliki segala pujian, Dia lah yang Maha Terpuji pada DzatNya, nama-nama dan sifat-sifatNya. Dia memiliki nama-nama yang paling indah dan sifat-sifat yang paling sempurna. Maka Al-Hamdu (pujian) adalah sifat yang paling luas, pujian yang paling menyeluruh dan sanjungan yang paling agung. 

Karena semua namaNya ta’ala adalah pujian, semua sifatNya adalah pujian, semua perbuatanNya adalah pujian dan semua (ketentuan) hukumNya adalah pujian. KeadilanNya adalah pujian, siksaanNya terhadap musuh-musuhNya adalah pujian, serta karunia dan kebaikanNya kepada wali-waliNya adalah pujian. Penciptaan (terhadap semua makhluk) dan perintah (ketentuan syariatNya) hanyalah tegak dengan pujian bagiNya, terwujud dengan pujian bagiNya dan tampak dengan pujian bagiNya. Tujuan dari penciptaan dan perintahNya adalah pujian bagiNya. Pujian bagiNya ta’ala adalah sebab, tujuan dan yang menampakkan (adanya) semua itu. Maka pujian bagiNya adalah ruh (dari) segala sesuatu dan tegaknya segala sesuatu dengan pujian bagiNya. Berlangsungnya pujian bagiNya di alam semesta dan tampaknya bekas-bekasnya merupakan perkara yang (jelas) dipersaksikan dengan mata kepala dan mata hati manusia.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya Allah ta’ala mengabarkan bahwa bagiNya lah segala pujian, Dia lah yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia, serta Dia lah yang memiliki segala pujian di dunia dan akhirat, serta bagiNya lah (segala) hukum, dan macam-macam pujian lainnya.”


(57) Al-Muhshiy (Maha Menghitung)

Yang memperhitungkan setiap amal perbuatan manusia, kecil, besar, untuk dibalas dengan pembalasan yang setimpal. 

Segala amal (perbuatan) manusia selama hidup di dunia yang penuh dengan permainan dan sandiwara ini, baik itu amal baik atau buruk akan dihitung oleh Allah swt. Amal baik dipertimbangkan masuk surga dan amal buruk dipertimbangkan masuk neraka. Jika amal baik lebih berat dari amal buruk pahalanya masuk surga tanpa masuk neraka. Namun jika ternyata amal buruk yang lebih berat maka balasannya masuk surga tapi merasakan panasnya siksa api neraka dahulu (jika ia beriman dan beragama islam).

Dengan memanggil asmaNya ‘Yaa Muhshiy,’ kita akan mendapatkan pertolongan dari Allah swt dalam penghitungan amal kelak. Mudah-mudahan segala amal buruk Kita dihitung termasuk amal baik oleh Allah swt.


(58) Al-Mubdi’u (Maha Memulai)

Yang memulai segala atau yang menciptakan apa yang sebelumnya tidak ada menjadi ada.

Lafal Al-Mubdi’ mempunyai arti bahwa Allah adalah Dzat yang menampakkan sesuatu dari “tiada” menjadi “ada.” Jika penciptaan itu tidak didahului oleh yang sama dengannya, maka itu disebut ibda’an; sedangkan jika telah didahului oleh yang sama dengannya, maka itu disebut i’adatan. Allah adalah Dzat yang mulai menciptakan makhluk dan Dia pula lah yang mengulangi penciptaanNya, dan yang terakhir ini lebih mudah bagiNya. Segala sesuatu berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya.


(59) Al-Mu’iid (Maha Mengembalikan Kehidupan)

Yang mengulangi kejadian yang sudah rusak atau lenyap.Apa yang sudah ada, lalu menjadi rusak dan lenyap lalu kemudian diadakanNya lagi buat kedua kalinya. Misalnya manusia yang sudah mati, lalu dihidupkan kembali sebagai kehidupan sekarang ini di akhirat nanti.

Katakanlah: “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat memulai penciptaannya makhluk, kemudian mengulangi (menghidupkannya) kembali?” Katakanlah: “Allah lah yang memulai penciptaan makhluk, kemudian; maka bagaimana kamu dipalingkan (kepada menyembah yang selain Allah)?” (Yunus: 34) 

“Sesungguhnya Dia lah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali).” (Al-Buruuj: 13)


(60) Al-Muhyiy (Maha Menghidupkan)

Yang memberikan kehidupan (hidup) bagi makhluk-makhlukNya yang hidup, pusat tenaga hidup. Segala kehidupan bersumber pada Allah. Al-Muhyiy adalah salah satu nama Allah subhanahu wa ta’ala. Nama ini berarti Yang Maha Menghidupkan. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan nama ini dalam surah Fushilat ayat 39, “Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus. Apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Rabb Yang Menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.”

Al-Baihaqi mengatakan dalam kitab Al-I’tiqad bahwa Al-Muhyiy adalah yang menghidupkan mani yang mati lalu menjadikannya makhluk hidup; yang menghidupkan jasmani yang sudah hancur dengan mengembalikan ruh padanya saat terjadinya kebangkitan; yang menghidupkan kalbu dengan cahaya ilmu; yang menghidupkan bumi setelah kematiannya dengan menurunkan hujan padanya, serta menurunkan rejeki. Dia subhanahu wa ta’ala mematikan, yakni mematikan makhluk yang hidup; dan dengan kematian itu Dia melemahkan makhluk yang kuat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Allah, Dia lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya dan Dia lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha kuasa.” (Ar-Ruum: 54)

“Mengapa kamu kafir kepada Allah? Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu. Kemudian kamu dimatikan dan dihidupkanNya kembali. Kemudian kepadaNya lah kamu dikembalikan.” (Al-Baqarah: 28)

“Dia lah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi). Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat mengingkari nikmat.” (Al-Hajj: 66)

Dengan mengimani bahwa Allah lah yang Maha Menghidupkan, kita mengetahui betapa besarnya kemampuan Allah karena Dia lah yang menghidupkan segala sesuatu. Dengan air, Dia jadikan segala sesuatu yang hidup.


(61) Al-Mumit (Maha Mematikan)

Yang mencabut kehidupan (hidup) dari makhluk-makhlukNya yang hidup atau yang mematikan. Lafal Al-Mumit mempunyai arti bahwa Allah adalah Dzat Yang Mematikan pada setiap yang dimatikanNya. Tidak ada yang menciptakan kehidupan dan kematian kecuali hanya Allah swt. Dan tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali Dia. Kematian dan kehidupan itu terikat dengan kehendakNya. 

Jadi, kalau Dia menghidupkan atau mematikan, maka itu adalah sesuai dengan kehendakNya dan mengikuti ilmuNya yang azali. Tentang makna kehidupan ini telah diisyaratkan terdahulu pada ism Allah Al-Ba’its, karena itu tidak perlu diulang lagi di sini.

Berakhlak dengan ism ini menghendaki seseorang agar selalu menyerahkan dan menggantungkan segala urusannya kepada Allah dan kembali kepadaNya dengan menghidupkan segala petunjuk hamba dengan perbuatan taat.


(62) Al-Hayyu (Maha Hidup)

Yang hidup, yang tidak akan berakhir dengan mati atau yang berkekalan hidupNya. Di antara Al-Asma’ul Husna adalah Al-Hayyu, Yang Maha Hidup. Nama Allah Al-Hayyu ini telah disebutkan dalam beberapa ayat di antaranya,

“Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izinNya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255)

“Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhlukNya.” (Ali ‘Imran: 2)

“Dan bertawakkal lah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memujiNya. Dan cukuplah Dia Maha mengetahui dosa-dosa hamba-hambaNya.” (Al-Furqan: 58)
(63) Al-Qayyum (Maha Mandiri)

Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin diartikan dengan ilmu Allah dan ada pula yang mengartikan dengan kekuasaanNya.

Yang mengurus segala perkara atau urusan makhlukNya. Al-Qayyum berarti Allah Maha Berdiri Sendiri. Allah swt tidak membutuhkan bantuan pihak lain. Dia dapat melaksanakan kehendaknya sendirian. Segala yang dikehendakinya pastilah terwujud. Dalil yang menjelaskan sifat ini adalah sebagai berikut,

(63) Al-Qayyum (Maha Mandiri)

Yang mengurus segala perkara atau urusan makhlukNya. Al-Qayyum berarti Allah Maha Berdiri Sendiri. Allah swt tidak membutuhkan bantuan pihak lain. Dia dapat melaksanakan kehendaknya sendirian. Segala yang dikehendakinya pastilah terwujud. Dalil yang menjelaskan sifat ini adalah sebagai berikut,




“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhlukNya.” (QS. Ali ‘Imran: 2)


(64) Al-Waajid (Maha Penemu)

Yang mendapatkan apa saja yang Ia kehendaki. Al-Waajid (yang Maha Kaya) adalah Allah yang tidak kekurangan apa-apa dan tidak membutuhkan apa-apa. Seseorang yang tidak membutuhkan apapun yang tidak diperlukan untuk keberadaannya, dia tidak disebut membutuhkan. 

Seseorang yang memiliki apa yang pada hakikatnya tidak sesuai dengannya dan tidak dapat menyumbang bagi kesempurnaannya, dia tidak disebut kaya. Yang kaya adalah dia yang tidak membutuhkan apa-apa yang diperlukannya, dan segala sesuatu yang diperlukan dalam sifat-sifat ketuhanan dan kesempurnaannya ada dalam Allah azza wa jalla. 

Maka Dia lah yang Maha Kaya, yang mutlak kaya, siapa pun selain dia, meskipun dia memiliki beberapa sifat sempurna maupun sebab-sebabnya, tetap saja membutuhkan banyak lagi pendukung, dan dia hanya dapat disebut kaya secara relatif (tidak mutlak).


(65) Al-Majid (Maha Mulia)

Yang bersifat agung (tinggi) dengan kesucian. Dzat yang Maha Mulia, yaitu kemuliaanNya di atas semua makhluk-makhlukNya. KemuliaanNya abadi untuk selama-lamanya dan tidak mengalami perubahan sedikitpun. Allah Maha Mulia memperlihatkan kedermawanan dan kemurahanNya kepada orang orang yang dekat kepadaNya. Allah memberikan kita lebih banyak dari yang kita butuhkan dan juga karunia sifat baik, yang membuat kita mampu mengerjakan perbuatan perbuatan baik. Allah akan mencintai dan memuliakan kita atas sifat yang telah Dia berikan dan memberikan imbalan kepada kita dengan mengampuni dosa dan kesalahan kita.

Dia menyembunyikan dosa dan kesalahan kita dari orang lain dan bahkan dari diri kita sendiri. Allah menerima taubat kita, melindungi hak-hak kita, meringankan kesulitan-kesulitan kita, menyediakan jalan bagi kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan kita.

Seorang hamba yang mengingat kemurahan Allah yang Maha Agung seharusnya mencintaiNya, mematuhi perintahNya dengan ikhlas dan merasa takut kepadaNya dengan mencintaiNya karena takut kehilangan rahmat dari Sang Kekasih.

“Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (QS. Hud: 73)

Kata Al-Majid terambil dari asal kata majada, yang arti dasarnya adalah “mencapai batas maksimal.” Prestasi tertinggi yang berupa kejayaan atau kemuliaan yang merupakan puncak pencapaian sukses dan kemenangan dinamakan “majid.” Demikian juga seekor unta yang makan hingga kenyang disebut “majud.”

Dalam Al-Qur’an, kata majid bisa dijumpai dalam empat ayat. Dua ayat digunakan untuk memberi sifat Allah, sebagaimana ayat di atas, dan satu lagi adalah sebagai berikut, “Dan Dia lah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih, yang memiliki Arsy, lagi Maha Mulia.” (QS. Al-Buruj: 14-15)

Sedang dua ayat yang lain dipakai untuk menyifati Al-Qur’an. Dua ayat itu adalah, “Qaaf. Demi Qur’an yang mulia.” (QS. Qaaf: 1) Dan ayat berikut, “Bahkan yang (didustakan itu) ialah Al-Qur’an yang mulia.” (QS. Al-Buruj: 21).

Penggunaan kata majid untuk menyifati Al-Qur’an merupakan isyarat dari Allah Al-Majid (Yang Maha Mulia) bahwa jalan untuk meraih keselamatan, sukses, kejayaan, kebahagiaan, dan kemuliaan (Al-Majid) adalah mengikuti petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana firmanNya sendiri, “Dan sungguh, ini adalah jalanKu yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan menceraiberaikan kamu dari jalanNya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-An’am: 153).

Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surah-surah Al-Qur’an seperti: Alif laam miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. Diantara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surah, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para Pendengar supaya memperhatikan Al-Qur’an itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. Kalau mereka tidak percaya bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Allah dan hanya buatan Nabi Muhammad saw semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al-Qur’an itu.

Selain itu, penggunaan kata Al-Majid untuk menyifati Al-Qur’an memberi pengertian bahwa Al-Qur’an adalah puncak dari segala kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Setelah Al-Qur’an tidak ada lagi wahyu yang diturunkan Allah, sebab Al-Qur’an sudah sampai pada batas tertinggi, merupakan kalam Ilahi yang tiada tandingnya lagi. Bahkan, Al-Qur’an menantang siapa pun untuk membuat yang sama, jika mampu.

Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.’” (QS. Al-Israa’: 88).

Bagi Allah, sifat Al-Majid adalah suatu yang niscaya. Menurut Al-Ghazali, tidak ada seorang pun yang memiliki kombinasi dari tiga kemuliaan selain Allah. Karenanya, mustahil bagi manusia, jin, dan malaikat menyandang sifat Al-Majid. Tidak ada yang mampu menggabungkan ketiga kemuliaan yang terangkum dalam kata atau sifat Al-Majid. Kombinasi tiga kemuliaan (Al-Majid) itu adalah: (1) mulia DzatNya, (2) indah perbuatanNya, dan (3) banyak anugerahNya.


(66) Al-Wahid (Maha Tunggal)

Nama Al-Wahid, nama ini telah Allah sebutkan berulang-kali di beberapa tempat dalam Al-Qur’an, diantaranya,

“Dan ilahmu adalah ilah Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)

“Manakah yang baik, Tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf: 39)

“Dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.” (Shaad: 65)

“Katakanlah, ‘Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia lah Rabb Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.’” (Ar-Ra’d: 16)

Dua nama Allah azza wa jalla di atas sama-sama menunjukkan keesaanNya. Maksudnya hanya Allah saja lah yang memiliki sifat mulia, agung, besar dan bagus. Tidak ada dzat yang mirip dengan dzatNya dan tidak ada sifat yang menyerupai sifatNya. Tidak ada sekutu dan pembantu dalam perbuatan-perbuatanNya. Allah satu-satunya sesembahan yang berhak untuk diibadahi, tidak boleh dipersekutukan dalam hal cinta dan pengagungan. Sikap merendahkan diri dan tunduk hanya kepadaNya saja. Dia lah Allah, Dzat yang agung sifatNya, sehingga hanya Allah yang layak untuk menyandang segala kesempurnaan. Tidak ada satu maklukpun yang mengetahui sifat Allah atau sebagian dari sifatNya dengan sempurna. Dengan demikian bagaimana mungkin seseorang akan dapat menyerupai sebagian dari sifatNya.

Lafal (Al-Wahid) ini disebut berulang-ulang dalam Al-Qur’an berkaitan dengan pembahasan dan penjelasan tentang tauhid serta pembatalan syirik. Allah azza wa jalla berfirman ketika menjelaskan tentang keMaha-EesaanNya dan tentang kewajiban Ikhlas kepadaNya,

“Dan ilahmu adalah ilah Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)

“Katakanlah Hai Muhammad, ‘Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan, dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.’” (Shaad: 65)

“Sesungguhnya ilahmu benar-benar Esa, Rabbnya langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dan Rabbnya tempat-tempat terbit matahari.” (Ash-Shaffat: 4-5)


(67) Al-Ahad (Maha Esa)

Yang Maha Esa, yang satu-satuNya dan tiada lainNya. Nama Al-Ahad ini hanya disebutkan dalam satu surah saja, yaitu di dalam surah Al-Ikhlas.

Allah azza wa jalla berfirman, “Katakanlah, “Dia lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Rabb yang bergantung kepadaNya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 1-4)

Surah Al-Ikhlas ini merupakan surah yang sangat mulia, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa surah Al-Ikhlas sama dengan sepertiga Al-Qur’an karena di dalamnya terdapat penjelasan khusus tentang nama-nama Allah yang Maha Mulia dan sifat-sifatNya yang Maha Agung.

Salah satu Asmaul Husna adalah Al-Ahad (Yang Maha Esa). Hal itu berdasarkan dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah Nabi. Di antaranya adalah firman Allah swt: “Katakanlah Dia lah Allah yang Maha Esa.” (Al-Ikhlas: 1)

Adapun dalam hadits Nabi, terdapat dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi bahwa Allah swt berfirman, “Adapun cercaan anak Adam terhadapKu maka ucapannya bahwa Allah telah menjadikan untuk diriNya seorang anak, padahal Aku adalah Allah Yang Maha Esa dan yang menjadi tempat bergantung. Aku tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada bagiKu tandingan seorang pun.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam hadits yang lain, dari Buraidah, “Bahwa Rasulullah saw mendengar seorang berkata; ‘Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu dengan aku bersaksi bahwa Engkaulah Allah, tiada ilah yang benar kecuali Engkau Yang Maha Esa, dijadikan tempat bergantung oleh hamba-hambaNya.’” (HR. At-Tirmidzi)

Makna Al-Ahad (Yang Maha Esa) antara lain: 

1. Yang tiada yang menyerupainya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Baihaqi.
2. Yang Maha Tunggal, seperti dikatakan oleh Ibnul Atsir.

Bisa dilihat dalam buku Sifatullah Azza Wa Jalla Al-Waridah fil Kitabi was Sunnah hal. 42. Sehingga Al-Ahad adalah yang tiada tandingan bagiNya dan tiada sekutu bagiNya, dalam UluhiyyahNya, KetuhananNya, dan dalam RububiyyahNya, serta dalam asma dan sifatNya (nama-nama dan sifat-sifatNya).

Dia Maha Tunggal dalam RububiyyahNya, sehingga tiada sekutu bagiNya dalam kerajaanNya, tidak ada yang dapat melawan dan mengalahkanNya. Dia Maha Tunggal dalam dzat, nama, dan sifat-sifatNya. Tidak ada sesuatupun yang menyerupaiNya.

Dia Maha Tunggal dalam UluhiyahNya sehingga tiada sesuatu pun yang berhak diibadahi kecuali Dia, dan tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Dia. (Lihat Ma’arijul Qabul, 1/136)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan: “Al-Ahad yakni Yang menyendiri dengan segala kesempurnaan, keagungan, kebesaran, keindahan, pujian, hikmah, rahmah dan selainnya dari sifat-sifat kesempurnaan. Sehingga tidak ada yang menyerupai dan menyamaiNya dalam satu sisi pun dari sisi-sisi yang ada.

Maka Dia Yang Maha Tunggal dalam kehidupanNya, sifat qayyumiyahNya, ilmuNya, kekuatanNya, kebesaranNya, keindahanNya, pujian terhadapNya, hikmahNya, rahmahNya, dan sifat-sifat lain. Dia memiliki sifat-sifat itu pada puncak kesempurnaan.” (Lihat Bahjatu Qulubil Abrar, dinukil dalam kitab Syarh Asma Allah Al-Husna fi Dhau’il Kitab was Sunnah, hal. 167)


(68) Ash-Shamad (Maha Dibutuhkan)

Hanya Ia lah tempat bermohon, mengadu, dan memuja bagi segala makhlukNya. Hanya kepadaNya sajalah kita bermohon atas segala keperluan dan perlindungan dari segala bahaya.

Ash-Shamad adalah Dzat yang dituju dalam setiap kebutuhan. Allah tempat meminta pertolongan di setiap kesulitan. Allah Maha Perkasa. Dia tidak makan dan minum. Allah tidak pernah sakit seperti manusia. Allah tidak memerlukan siapapun. Sebaliknya manusia selalu memerlukan Allah. Kata Ash-Shamad hanya disebutkan satu kali dalam Al-Qur’an.

Yaitu dalam surah Al-Ikhlas ayat 1-4: 

1. Katakanlah: “Dia lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Allah tempat bergantung segala sesuatu. Bergantung kepada Allah bukan berarti kita tidak boleh berusaha. Kita harus tetap berusaha serta berdo’a kepada Allah. Bila kita bergantung kepada Allah kita akan menyadari bahwa Allah Maha berkuasa. Sifat Ash-Shamad menandakan bahwa kekayaan Allah tidak akan habis. Meskipun sudah dibagikan untuk kebutuhan makhlukNya. Manusia tidak boleh meminta kepada selain Allah. Misalnya meminta pertolongan syaitan dan sebagainya. Karena hal itu termasuk perbuatan syirik. Syirik akan mendatangkan dosa. Kelak pelakunya akan disiksa di dalam neraka.


(69) Al-Qaadir (Maha Menentukan)

Yang sanggup melaksanakan apa saja yang Ia kehendaki dengan tidak tergantung kepada tempo dan keadaan (ruang dan waktu).

Dan mereka (orang-orang musyrik Mekah) berkata, “Mengapa tidak diurunkan kepadanya (Muhammad) sesuatu mukjizat dari Tuhannya?” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah Kuasa menurunkan sesuatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-An’aam: 37) 

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah Kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada keraguan padanya? Maka orang-orang zalim itu tidak menghendaki kecuali kekafiran.” (Al-Israa’: 99) 


(70) Al-Muqtadir (Maha Berkuasa)

Yang memegang kekuasaan dari tiap-tiap orang yang mempunyai kekuasaan. Lafal Al-Muqtadir mempunyai arti bahwa Allah, adalah yang menguasai segala sesuatu. Keduanya berasal dari kata qudrah, namun Al-Muqtadir lebih sempurna, sebab tambahan bentuk menunjukkan adanya tambahan makna.

Maksudnya waktu mereka mati atau waktu mereka dibangkitkan.

Dikatakan bahwa Al-Qadir itu ialah yang mampu menciptakan yang tiada dan memusnahkan yang ada. Sedangkan Al-Muqtadir itu ialah Dzat yang mampu memmperbaiki makhluk dari segi yang tidak mampu dilakukan oleh selainNya sebagai suatu karunia dan kebaikan dariNya.


(71) Al-Muqaddim (Maha Mendahulukan)

Yang mendahulukan sesuatu atas lainnya. Yaitu Allah mempunyai sifat yang Maha Kuasa mendahulukan atau yang Maha Mempercepat. Bila Allah berkehendak, Allah sanggup mempercepat segala sesuatu yang menurut akal manusia mustahil atau di luar jangkauan manusia. Namun bagi Allah semuanya sangatlah mudah. Allah bisa mendahulukan atau mempercepat adzabnya kepada orang yang ingkar dan Allah juga bisa mendahulukan nikmatnya kepada orang-orang yang shalih yang dikehendakinya. 

Sebagaimana firman Allah, “Jika Allah menimpakan sesuatu bencana kepadamu, tidak ada yang menghilangkannya selain Dia. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu maka dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 17)

Dia juga berfirman, “Katakanlah, maka siapakah yang dapat menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki bencana bagimu atau jika dia menghendaki keuntungan bagimu. Sungguh, Allah Maha meneliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (Al-Fath: 11)

Di dalam Al-Qur’an banyak kisah-kisah yang menggambarkan kekuasaan Allah yang sangat mudah dalam mendahulukan atau mempercepat adzabnya kepada orang-orang yang ingkar kepada Allah dan sangat melampaui batas. Salah satu contohnya adalah adzab Allah kepada Fir’aun. Fir’aun adalah seorang raja yang mempunyai kekuasaan yang sangat besar hingga ia mengakui dirinya sebagai Tuhan yang Maha Tinggi. Dia sudah berkali-kali di peringatkan agar dia kembali ke jalan yang lurus melalui Nabi Musa namun dia tetap membangkang. Akhirnya Alllah mempercepat adzab kepadanya dan dia pun ditenggelamkan ke dalam laut merah. 

Selain itu masih banyak kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang menggambarkan betapa mudahnya bagi Allah untuk mendahulukan adzabnya di dunia ini kepada orang yang dikehendakinya, tanpa menunggu hari akhir, diantaranya: dihancurkanya kaum Nabi Nuh yang tidak mau beriman kepada Allah dengan didatangkanya air bah yang sangat besar. Dengan Allah mendahulukan adzabnya kepada orang-orang yang sangat ingkar kepadaNya, bukan berarti mereka akan bebas dari siksa Allah nantinya di akhirat. Didahulukanya adzab Allah di dunia kepada orang-orang yang ingkar tujuannya adalah agar bisa jadi pelajaran bagi umat yang sesudahnya.


(72) Al-Mu’akhir (Maha Mengakhirkan)

Yang mengakhirkan sesuatu atas lainnya. Allah bersifat Al-Mu’akhir yang artinya Allah Maha Kuasa untuk mengakhirkan atau memperlambat segala urusan. Selain Allah bersifat Maha Mendahulukan Allah juga bersifat Maha Mengakhirkan segala sesuatu. Contohnya Allah juga bisa mengakhirkan atau memperlambat adzabnya kepada orang-orang kafir. Sehingga Allah tidak mengadzabnya di dunia melainkan mengakhirkan adzabnya di akhirat nanti.

Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42)


(73) Al-Awwal (Maha Awal)

Permulaan segala wujud (segala yang ada). Al-Awwal adalah Dzat yang tidak didahului sesuatu pun sebelumNya, Dia lah Dzat yang Maha Tinggi di atas segala sesuatu, Dia lah Dzat yang Maha Kaya tidak membutuhkan sesuatu pun.

Nama ini disebutkan di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dia lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid: 3).

Al-Awwal adalah Dzat yang tidak didahului sesuatu pun sebelumNya, Dia lah Dzat yang Maha Tinggi di atas segala sesuatu, Dia lah Dzat yang Maha Kaya tidak membutuhkan sesuatu pun.Dia lah yang lebih dahulu dari selainNya. Tiada satu makhluk pun yang dapat menandingi dan menyamai kesempurnaan sifatNya, karena Allah itu Esa dalam dzat, sifat dan perbuatanNya.

Al-Awwal adalah Dzat yang memiliki sifat awwaliyah, dan sifat ini mengandung sifat dzatiyyah yang menunjukkan bahwa sifat awwaliyahNya adalah bersifat mutlak, juga ketinggian yang tiada dimiliki kecuali oleh Allah.


(74) Al-Akhir (Maha Akhir)

Akhir segala wujud. Tidak berakhir wujud dan kekuasaanNya. Al-Akhir adalah Dzat yang memiliki sifat kekal dan Maha Akhir yang tidak ada sesuatu pun setelahNya. Dia Maha Kekal tatkala semua makhluk hancur, Maha Kekal dengan kekekalanNya.

Nama ini disebutkan di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dia lah Yang Awal dan Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid: 3).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya Allah, Engkaulah Yang Maha akhir, yang tidak ada sesuatu setelah-Mu.” (HR. Muslim)

Al-Akhir adalah Dzat yang memiliki sifat kekal dan Maha Akhir yang tidak ada sesuatu pun setelahNya. Dia Maha Kekal tatkala semua makhluk hancur, Maha Kekal dengan kekekalanNya. Adapun kekekalan makhlukNya adalah kekekalan yang terbatas, seperti halnya kekekalan Jannah, neraka dan apa yang ada di dalamnya. Jannah adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan ketentuan, kehendak, dan perintahNya.

Allah berkehendak untuk menetapkan makhluk yang kekal dan yang tidak, namun kekekalan makhluk itu tidak secara dzat dan tabiat, karena secara tabiat dan dzat, seluruh makhluk ciptaan Allah adalah fana (tidak kekal). Sifat kekal tidak dimiliki oleh makhluk, kekekalan yang ada hanya sebatas kekal untuk beberapa masa sesuai dengan ketentuanNya.

Sedangkan dzat dan sifat Allah subhanahu wa ta’ala seperti wajah, keperkasaan, kemahatinggian, rahmat, tangan, kemampuan, kerajaan, dan kekuatan Allah adalah sifat yang kekal abadi. Kekal adalah sifat Dzat Allah, karena Allah adalah Dzat yang Maha Akhir, tiada sesuatu pun setelahNya.

Orang yang mengimani Al-Akhir akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup yang tiada tujuan hidup selainNya, tidak ada permintaan kepada selainNya, dan segala kesudahan tertuju hanya kepadaNya, dan segala kesudahan tertuju hanya kepadaNya. 

Ia juga akan selalu merasa membutuhkan Rabbnya, ia akan selalu mendasarkan apa yang diperbuatnya kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk hambaNya, karena ia mengetahui bahwa Allah adalah pemilik segala kehendak, hati dan niat.


(75) Azh-Zhahir (Maha Nyata)

Yang amat nyata segala ayat-ayat dan perbuatanNya. “Engkau adalah Azh-Zhahir, tidak ada sesuatupun di atas-Mu, Engkau adalah Al-Batin, tidak ada sesuatu pun yang berada di balikMu.” (HR. Muslim)

Azh-Zhahir dalam hadits ini ditafsirkan dengan makna tinggi, maka Allah ta’ala Maha Tinggi di atas segala sesuatu. Sebagian orang menafsirkan zhahir dengan makna tampak. Maksudnya adalah Dia tampak bagi akal berdasarkan bukti-bukti akan keberadaanNya dan keesanNya. Maka Dia zhahir berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkannya, serta perbuatan-perbuatanNya yang menunjukkan ilmu tentangNya. Dia adalah zhahir, dapat diketahui berdasarkan akal dan dalil. Dia adalah bathin, tidak tampak sebagaimana tampaknya segala sesuatu di dunia. Allah ta’ala Maha Tinggi. Allah ta’ala adalah Azh-Zhahir berdasarkan hikmah dan penciptaanNya serta seluruh nikmatNya yang telah dia berikan. 


(76) Al-Bathin (Maha Ghaib)

Yang ghaib dzatNya. Yang tidak mungkin diketahui unsurNya. Sebagian ulama mengartikan Al-Bathin adalah bahwa Dia dekat. Dikatakan bahwa Al-Bathin lebih dekat dari segala sesuatu dengan ilmu dan kekuasaanNya sedangkan Dia berada di atas arsyNya. 

Ada juga yang menafsirkan Al-Bathin bahwa Dia mengetahui segala perkara yang tersembunyi. Maka Dia adalah Maha Mengetahui yang tersembunyi maupun yang tampak. Bukhari berkata, “Yahya, maksudnya Al-Farra, bahwa Azh-Zhahir adalah berada di atas segala sesuatu berdasarkan ilmuNya sedangkan Al-Bathin terhadap segala sesuatu berdasarkan ilmuNya.”

Sebagian ada yang menafsirkan bahwa Al-Bathin artinya bahwa Dia tidak diketahui berdasarkan panca indra seperti makhluk yang dapat diketahui dengan indra. Sebagian lagi mengatakan bahwa Dia terhalang dari pandangan makhluk dan perkiraanNya. Dia tidak dapat terlihat oleh mata dan juga orang perkiraan. 

Meskipun semua makna tersebut benar, akan tetapi lebih utama jika berpatokan dengan penafsiran Nabi, sebab itulah penafsiran yang paling baik, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah makhluk yang paling mengetahui tentang Allah ta’ala. 

Ibnu Jarir berkata, “Azh-Zhahir adalah berada di atas segala sesuatu yang di bawahnya. Dia tinggi di atas segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dariNya. Dia adalah Al-Bathin atas segalah sesuatu, tidak sesuatu yang lebih dekat darinya kecuali Dia.”

(77) Al-Waali (Maha Mengatur dan Melindungi)

Yang menguasai segala urusan. Al-Waali adalah yang mengatur urusan makhlukNya dan memimpinnya. Waali artinya yang mengatur urusan makhluk dan menindaklanjuti serta mengukur semua urusan terhadap wilayah atau daerah kekuasaaannya, baik dalam pengertian wilayah makhluk atau pun kekuasaan. Seakan-akan makna kata dari wilayah ini pengaturan kekuasaan dan perbuatan. Jadi dalam pengawasan pengaturan perbuatan tindakan, kalau tidak ada sifat-sifat di dalamnya (mengatur berkuasa dan betindak –bisa berbuat) maka tidak bisa disebut sebagai waali, oleh karena itu tidak ada waali yang mengatur alam semesta ini kecuali Allah swt.

Hal itu disebabkan karena beberapa hal: 
  1. Allah sendiri yang mengatur, tidak ada campur tangan.
  2. Allah sendiri juga yang merealisasikan menerapkan perencanaan dan pengaturannya itu, artinya Dia yang mengatur dan Dia pula yang melaksanakan.
  3. Dia juga yang melakukan apakah ini diteruskan ataukah dikekalkan atau disudahi itu adalah urusan Allah juga.
Makanya (Allah adalah waalinya orang-orang beriman). Sebagai manusia maka waali kita adalah Allah swt, Dia lah yang mengatur kita dari lahir sampai kita meninggal, Allah juga yang merealisasikan kelahiran kita. Setelah Dia rancang, atur kemudian Dia realisasikan, Dia berkehendak mutlak. Allah tentukan sampai kapan umur kita di dunia dan kita tidak bisa ikut campur, karenanya Laaa haula walaa quwwat illa billah.

Allah tidak akan mengundurkan kematian seseorang kalau sudah sampai ajalnya. Sedikit pun tidak akan Allah undur dan juga tidak akan Allah percepat, dan manusia tidak bisa campur tangan dalam hal itu.

Oleh sebab itu, Allah adalah waali kita. Alangkah nikmatnya hidup ketika kita berserah diri kepada Allah dengan Al-Waali Allah ta’ala. Kalau ada perencanaan yang tidak baik kita meminta untuk Allah merubahnya karena takdir itu bisa dirubah dengan do’a, bagi Allah itu akan mudah apabila Dia berkehendak.


(78) Al-Muta’aliy (Maha Tinggi)

Yang lebih tinggi dari segala yang tinggi dan bersih dari kekurangan. Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkanNya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Al-A’raaf (7): 190) 

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari pada yang mereka mempersekutukan (itu). (Yunus: 18)


(79) Al-Bari’ (Maha Penderma)

Yang berbuat baik dengan segala kebaikan. Lafal Al-Bari’ mempunyai arti bahwa Allah Maha Menjadikan, Dzat yang menciptakan makhluk terlepas dari ketidakselarasan yang merusak tata-tertib. Imam Al-Ghazali mengatakan semua yang keluar dari seesuatu yang “tidak ada” menjadi “ada”, yaitu: 

a. Membutuhkan takdir.
b. Membutuhkan pembuatan sesuai dengan takdir tersebut.
c. Membutuhkan pembentukan sesudah pembuatan tersebut.

Jadi, dalam kaitannya dengan hal ini, Allah adalah Al-Khaliq dari segi muqaddir (yang menentukan), kemudian Dia juga adalah Al-Bari’ dari segi pengadaan dari yang “tidak ada” menjadi “ada”, dan Dia Al-Mushawwir dari segi pembentukan rupa.


(80) At-Tawwaab (Maha Penerima Taubat)

Yang memberi taubat dan kembali berbuat baik (memberi nikmat) terhadap orang yang berdosa sesudah bertaubat. Allah swt mempunyai nama At-Tawwaab artinya bahwa hanya Dia lah yang Maha Menerima Taubat para hambaNya, maka tidaklah seorang hamba yang bermaksiat sebesar apapun kemaksiatannya, kemudian ia ingin bertaubat kepada Allah, maka Allah akan bukakan pintu taubat dan rahmatNya.

Allah akan membahagiakannya karena taubat dan ia kembali kepadaNya, selama jiwanya belum terlepas atau sebelum maut menjemput. Ia bertekad kuat untuk tidak kembali menyelisihi hukum-hukum ibadah yang telah digariskan pelaksanaannya. Allah swt Maha Menerima Taubat seorang hamba yang benar dalam taubatnya, menggembirakan hamba tersebut dalam kecintaan dan kasih sayangNya.

Jika ia benar-benar menyesal, meninggalkan, memohon ampunan, berani berkorban, sehingga yang berbicara hanyalah kelemahan dan kemiskinan di hadapanNya, bahwa dosanya disebabkan kekalahannya atas gangguan syaitan atau kuatnya bisikan nafsu untuk berbuat maksiat, bahwasanya ia tidak bermaksud menghinakan hak Allah ataupun berpura-pura terhadap takdirNya, tidak pula karena mengingkari Hak Allah karena merasa tahu akan rahasiaNya ataupun pula karena menghinakan ancamanNya.


(81) Al-Muntaqim (Maha Penyiksa)

Yang membalas segala dosa dengan siksa. Dzat yang Maha menyiksa, yaitu Dia akan selalu membalas hamba-hambaNya telah berdurhaka kepadaNya dengan siksa nanti di hari kiamat.

“(Ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya Kami adalah pemberi balasan.” (Ad-Dukhaan: 16)

Nama Allah Al-Muntaqim bermakna yang membalas segala dosa dengan siksa. Adalah Allah yang menghancurkan punggung mereka yang suka menentang (membangkang), menghukum pelaku kejahatan, dan memperkeras hukuman atas para penindas. 

Tetapi hal ini dilakukan setelah Dia yang Maha Suci memperingatkan mereka terlebih dahulu, dan setelah memberi mereka kesempatan dan waktu untuk merubah diri. Namun, inilah pembalasan yang lebih keras dibanding hukuman yang segera dijatuhkan, karena bila hukuman segera dijatuhkan, orang tidak terus menerus dalam kedurhakaannya, dan konsekuensinya dia tidak patut mendapat hukuman yang penuh.

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah: 22)

“(Ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras sesungguhnya Kami adalah pemberi balasan.” (Ad-Dukhan: 16)

“Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya.” (Al-Maaidah: 95)

“Sungguh, jika kami mewafatkan kamu (sebelum kamu mencapai kemenangan) maka sesungguhnya Kami akan menyiksa mereka (di akhirat).” (Az-Zukhruf: 41)

Pembalasan manusia menjadi terpuji apabila yang dibalas adalah musuh-musuh Allah swt dan musuh seperti itu adalah jiwa rendahnya sendiri, hawa nafsunya. Dengan demikian, manusia harus membalas dendam terhadap jiwa rendahnya, karena jiwa yang rendah inilah yang menyebabkan terjadinya kedurhakaan atau tidak tertunaikannya kewajiban beribadah.


(82) Al-Afuuw (Maha Pemaaf)

Banyak memaafkan kesalahan-kesalahan manusia. Al-Afuww ialah Dzat yang menghapuskan segala kejahatan dan memaafkan orang-orang yang telah berbuat maksiat. Kata Al-Afuww ini mendekati makna Al-Ghafur, tetapi ia lebih sempurna. Sebab, Al-Ghafur itu adalah As-Sitr (merahasiakan), sedangkan Al-Afuww itu adalah Al-Mahwu (menghapuskan).

Dikatakan bahwa para malaikat yang ditugasi untuk mencatat amal perbuatan manusia menghaturkan catatan amal-amalnya pada hari kiamat, lalu mereka lihat sebagian besar lembaran amal itu telah terhapus, padahal mereka mengetahui apa isinya. Maka sadarlah mereka bahwa Allah telah menghendaki kebaikan buat orang itu. 

Firman Allah: “Dan Dia lah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan…” (QS. Asy-Syura: 25).


(83) Ar-Rauuf (Maha Belas Kasih)

Yang sangat banyak memberi rahmat, kasih sayang dan atau sangat penghiba (rasa kasihan). Dzat yang Maha Belas Kasihan, yaitu Dia sangat belas kasihan kepada hamba-hambaNya dengan memberikan rahmat yang banyak sekali.

“Sesungguhnya Allah talah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha penyayang kepada mereka.” (At-Taubah: 117).


(84) Malikul-Mulk (Maha Penguasa Kerajaan)

Pemilik segala kekuasaan, melakukan apa saja yang Ia kehendaki terhadap milikNya itu. Dzat yang Maha Menguasai semua kerajaan, yaitu semua kerajaan yang ada di dunia ini berada dalam kekuasaan Allah dengan wilayah yang tidak ada batasnya.

Malikul-Mulk ialah Dzat yang menjalankan semua urusan di dalam kerajaanNya menurut apa yang Dia kehendaki. Tidak ada yang bisa menolak ketentuanNya dan tidak ada akibat dari hukumNya. Al-Mulk artinya “kerajaan,” dan Al-Malik artinya “Yang Maha Kuasa dengan sempurna.” Seluruh yang maujud ini merupakan satu kerajaan dan Dia adalah penguasanya.

Semuanya itu merupakan satu kerajaan, sebab antara sebagian dengan sebagian lainnya ada keterkaitan.


(85) Dzul Jalaali Wal Ikraam (Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan)

Pemilik satu-satunya dari segala kemuliaan dan kesempurnaan dan segala kemuliaan itu berasal dari Dia. Dzat yang Maha memiliki kebesaran dan kemuliaan, yaitu kebesaran Allah dan kemuliaanNya tidak dapat dibandingkan dengan kebesaran dan kemuliaan hamba-hambaNya. Karena sifat Allah yang mencerminkan di dalam nama-namaNya adalah bersifat kekal.


(86) Al-Muqsith (Yang Maha Seimbang)

Yang selalu adil dalam menghukum. Allah tidak pernah memberatkan satu pihak dengan pihak yang lain, dan Allah tidak meringankan satu pihak dengan pihak yang lain, kaya dan miskin, kedudukan raja dan budak, semuanya dianggap sama.

Dzat yang Maha Adil, yaitu Dia sangat adil dalam menetapkan suatu hukum-hukumNya, sehingga tidak pandang bulu terhadap siapapun yang bersalah dalam memberi hukuman.


(87) Al-Jaami’ (Maha Mengumpulkan)

Yang menghimpun segala hakikat yang berbagai-bagai. Al-Jami’ secara bahasa artinya Yang Maha Mengumpulkan atau Menghimpun, yaitu bahwa Allah swt Maha Mengumpulkan atau Menghimpun segala sesuatu yang terbesar atau terserak. Allah swt Maha Mengumpulkan apa yang dikehendakiNya dan dimana pun Allah swt berkehendak.

Penghimpunan ini ada berbagai macam bentuknya, di antaranya adalah mengumpulkan seluruh makhluk yang beraneka ragam, termasuk manusia dan lain-lainya, di permukaan bumi dan kemudian mengumpulkan mereka di padang Mahsyar pada hari kiamat. Allah swt berfirman, 




“‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang ada keraguan padanya.’ Sesungguhnya Allah swt tidak menyalahi janji.” (QS. Ali ‘Imran: 9)

Allah swt akan menghimpun manusia di akhirat kelak sama dengan orang-orang yang satu golongan di dunia. Hal ini bisa dijadikan sebagai parameter, kepada siapa kita berkumpul di dunia itulah yang akan menjadi teman kita di akhirat. Walaupun kita berdekatan secara fisik akan tetapi hati kita jauh, maka kita juga tidak akan berkumpul dengan mereka.

Oleh sebab itu, apabila di dunia hati kita terhimpun dengan orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, di akhirat kelak kita akan berkumpul dengan mereka di dalam neraka. Karena orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, tempatnya adalah di neraka.

Begitupun sebaliknya, apabila kecenderungan hati kita terhimpun dengan orang-orang beriman, bertakwa dan orang-orang shalih, di akhirat kelak kita juga akan terhimpun dengan mereka. Karena tidaklah mungkin orang-orang beriman hatinya terhimpun dengan orang-orang kafir dan hakikat batin di dalam hati. Barang siapa yang sempurna ma’rifatnya dan baik tingkah lakunya, maka ia disebut juga sebagai Al-Jami’. Dikatakan bahwa Al-jami’ ialah orang yang tidak padam cahaya ma’rifatnya.


(88) Al-Ghani (Maha Berkecukupan)

Yang tidak membutuhkan apa pun, terkaya dari segala keperluan. Dzat yang Maha kaya, yaitu Dia yang sangat kaya raya di atas segala-galanya, sehingga kekayaanNya dapat mencukupi kebutuhan hamba-hambaNya.

Al-Ghani adalah salah satu dari Al-Asma’ul Husna. Sebuah nama yang menunjukkan kesempurnaanNya dan keagungan- Nya. Dia lah Al-Ghani, Yang Maha Kaya, Maha Cukup, dan tidak membutuhkan siapa pun dan apa pun. 

Nama ini tercantum dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai manusia, kamulah yang membutuhkan kepada Allah dan Allah Dia lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.” (Fathir: 15-17)

“Kepunyaan Allah lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar benar Maha kaya lagi Maha Terpuji.” (Al-Hajj: 64)

Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Allah mempuyai anak.” Maha suci Allah. Dia lah Yang Maha kaya; kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. (Yunus: 68)

Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras menerangkan, “Di antara nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala adalah Al-Ghani. Maknanya, Allah subhanahu wa ta’ala memiliki kecukupan yang sempurna dan mutlak dari segala sisinya. KecukupanNya sama sekali tidak ternodai oleh sifat miskin dan membutuhkan. Sifat kecukupan dan kekayaanNya tidak mungkin lepas dariNya, karena sifat ini adalah konsekuensi dari DzatNya, dan sifat yang terkait dengan DzatNya tidak mungkin hilang.


(89) Al-Mughniy (Maha Pemberi Kekayaan)

Yang mengayakan hamba-hambaNya, yang memberi siapa yang Ia kehendaki apa-apa yang Ia kehendaki. Dzat yang Maha memberi kekayaan, yaitu semua kekayaan yang dimiliki oleh manusia itu merupakan pemberian dari Allah swt, tetapi kebanyakan manusianya sendiri yang tidak menyadari, sehingga ia menjadi pelit ketika dianjurkan untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah.

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan budak-budak yang yang kamu milik yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakanNya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, akan sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah di paksa itu.” (An-Nuur: 32-33) 

  1. Maksudnya hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
  2. Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal.
  3. Untuk mempercepat lunasnya Untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu hendaklah budak-budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.
“Kepunyaan Allah lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al-Hajj ayat 64) 

Nama Allah, Al Mughniy bermakna yang mengayakan hamba-hambaNya, yang memberi siapa yang Allah kehendaki apa-apa yang Allah kehendaki. Al-Mughni artinya Allah subhanahu wa ta’ala yang memberi kekayaan. Allah adalah Dzat yang memberi kekayaan kepada manusia. Allah Maha Kaya dan juga Maha Pemberi Kekayaan. Kekayaan Allah tidak akan berkurang karena dibagikan kepada semua hamba-hambaNya. Karena Allah benar-benar Maha Kaya.


(90) Al-Maani’ (Maha Mencegah)

Yang menolak atau yang mengangkatkan sebab-sebab kerusakan atau bahaya. Atau yang mencegah apa yang harus di cegah.

“Dzat yang Maha mencegah, yaitu Dia lah yang mencegah segala rencana hamba-hambaNya, termasuk mencegah tipu dayanya orang-orang kafir. Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskanya sesudah itu. Dan Dia lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Faathir: 2)

Maksudnya adalah Tuhan akan mengampuni budak-budak wanita yang dipaksa melakukan pelacuran oleh tuannya itu, selama mereka tidak mengulangi perbuatannya itu lagi.

Nama Allah, Al Maani’ bermakna yang menolak atau mengangkatkan sebab-sebab kerusakan atau bahaya, atau yang mencegah apa yang harus dicegah.


(91) Adh-Dhaarr (Maha Memberi Derita)

Yang merusak apa yang Ia kehendaki. Dzat yang Maha Merusak, yaitu Dia berkuasa untuk merusak segala sesuatu yang dikehendaki, termasuk menghancurkan orang-orang yang telah berbuat durhaka yang tidak bisa diharapkan kesadarannya.

“Orang-orang yang Badwi yang tertinggal (Tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: ‘Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka memohonlah ampunan untuk kami, mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.’ Katakanlah: ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’” (Al-Fath: 11)


(92) An-Nafi’ (Maha Memberi Manfaat)

Yang memberi maanfaat bagi siapa yang Ia kehendaki. Dikatakan bahwa Dia lah yang memberi manfaat, Allah menciptakan apa-apa yang ada di bumi ini untuk memberikan manfaat kepada mahluknya.

Lafal An-Nafi’ mempunyai arti bahwa Allah adalah Dzat Yang Memberi Manfaat. Lafal Adh-Dharr dan An-Nafi’ sifat yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah. Tidak ada kemudharatan, keemanfaatan, kejahatan, dan kebaikan kecuali dengan iradahNya jua.

Allah swt berfirman, “Katakanlah, bahwa semuanya berasal dari sisi Allah.”

Dikatakan bahwa Yang Memberi mudharat dan Yang Memberi Manfaat itu ialah Dzat yang berasal dariNya lah segala kebaikan, kejahatan, kemanfaatan, dan kemudharatan, dan itu semua dinisbatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala; baik dengan perantaraan malaikat, manusia, benda-benda mati, maupun tanpa perantara. 

Janganlah Anda sangka bahwa racun itu sendiri yang mematikan atau mencelakakan, dan bahwa makanan itu sendiri yang mengenyangkan atau memberi manfaat, dan bahwa malaikat, manusia, syaitan atau makhluk lain seperti planet, bintang, dan lain-lain bisa memberikan kebaikan, kejahatan, kemanfaatan atau kemudharatan dengan dirinya sendiri. Semua itu adalah dengan sebab-sebab yang ditundukkan bagi mereka.

Bertaqarrub dengan kedua ism ini menghendaki Anda tidak mengharapkan kemanfaatan dari selain Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak minta tolong dari kesulitan kepada selainNya.


(93) An-Nuur (Maha Pemberi Cahaya)

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalamnya kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nuur: 35)

Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain.

Nama Allah, An-Nuur bermakna sinar, terang atau cahaya. Berdzikir dengan lafal An-Nuur semoga membuat kita semakin berharap terus diterangi oleh Allah swt. Sehingga kita senantiasa berada dalam kebaikan dan petunjuk cahayaNya.


(94) Al-Haadi (Maha Pemberi Petunjuk)

Yang memberi petunjuk bagi hamba-hambaNya yang Ia kehendaki. Al-Hadi berarti Pemberi Petunjuk. Allah swt memberi petunjuk kepada mereka yang dihendakinya. Memberi petunjuk kepada makhluknya merupakan hak prerogatif Allah swt. Allah swt berfirman sebagai berikut.



“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang kehendaki. Dia kehendaki dan dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56) 

Maksudnya pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.


Dzat yang Maha Memberi Petunjuk, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala yang memberi petunjuk pada makhukNya yang dikehendaki, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menyesatkannya.


(95) Al-Badi’ (Maha Pencipta)

Yang menciptakan apa yang sebelumNya belum pernah ada. Dzat yang Maha Pencipta, yaitu Dia lah Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menciptakan alam beserta isinya ini dengan sendiriNya tanpa bantuan dari siapa pun.

Lafal Al-Badi’ mempunyai arti bahwa Allah subhanahu wa ta’ala, adalah Dzat yang menciptakan sesuatu tanpa didahului oleh contoh serupa sebelumnya. Atau yang tidak ada bandingannya dari mana pun. Maksudnya adalah bahwa tidak ada yang Esa seperti Dia, baik dalam dzatNya, sifat-sifatNya, maupun dalam perbuatanNya. 

Sifat ini tidak cocok kecuali bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab Dia tidak mempunyai misal sebelumnya, bahkan semua yang ada adalah berkat penciptaanNya dan dia tidak sama dengan Yang Menciptakannya. Atas dasar inilah, Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang azali dan abadi.

Berakhlak dengan ism ini menghendaki agar Anda mengusahakan sifat-sifat utama dan menjauhi sifat-sifat tercela.


(96) Al-Baaqiy (Maha Kekal)

Yang kekal adanya, tidak berakhir dengan tidak ada. Dzat yang Maha Kekal, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala itu kekal wujud dzatnya, tidak berkesudahan adaNya sebagaimana yang dialami hamba-hambaNya.
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahmaan: 26-27)


(97) Al-Waarits (Maha Pewaris)

Yang tetap ada sesudah musnahnya segala. Dalam kehidupan manusia, Allah tidak hanya mewarisi harta, tanah atau daerah (QS. Al-Ahzab: 27) tapi juga Al-Qur’an (QS. Al-Fatir: 32) bahkan atas izinNya seseorang dapat mewarisi ilmu (An-Naml: 16) yang penting adalah mewarisi surga (QS. Maryam: 19).

Dzat yang Maha Mewarisi, yaitu segala sesuatu yang menjadi peninggalan hambaNya itu pada akhirnya adalah merupakan milik Dia dan mewarisinya. Karena segala sesuatu di jagad raya ini adalah milik Allah, walau pada suatu saat si hamba itu pernah memilikinya. Tetapi semua itu pada akhirnya menjadi milik Dia dan Dia yang menjadi pewarisnya.


(98) Ar-Rasyiid (Maha Pandai)

Benar segala susunan dan aturan-aturan yang ditetapkan Nya. Yang Maha Tepat Tindakannya. Kata “Ar-Rasyiid”, terambil dari kata yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf ra’, syin, dan dal. Makna dasarnya adalah “ketepatan dan kelurusan jalan.” Dari sini lahir kata “Ruusyd” yang bagi manusia adalah “kesempurnaan akal dan jiwa”, yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. 

“Mursyid” adalah pemberi petunjuk atau bimbingan yang tepat. Sementara pakar bahasa berpendapat bahwa kata ini mengandung makna kekuatan dan keteguhan. Dari sini kata “Rasyaadah” diartikan “batu karang”.

Dalam Al-Qur’an kata “Rasyiid” ditemukan sebanyak tiga kali. Tidak satu pun menunjuk kepada Allah subhanahu wa ta’ala; kesemuanya menunjuk kepada manusia. Bentuk jamaknya, “Raasyiduun”, hanya ditemukan sekali, juga menunjuk kepada manusia. 

Namun demikian, ditemukan ayat yang dapat dipahami sebagai menunjuk bahwa sifat ini disandang oleh Allah swt, yaitu firmanNya, “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dia lah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkanNya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang mursyidaa atau pemimpin yang dapat member petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17).

Demikian juga firmanNya yang mengabadikan do’a “Ashaab Alkahfi”, sekelompok pemuda yang menghindar dari kekejaman penguasa masanya dan ditidurkan Allah selama 309 tahun, “Wahai Tuhan (kami) berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan tunjukkanlah bagi kami Rasyadaa dalam urusan kami (jalan kemaslahatan untuk melakukannya).” (QS. Al Kahfi: 10).

Siapa yang menganugerahkan Rasyadaa pastilah dia Rasyiid. Menurut Imam Ghazali, Rasyiid adalah “Dia yang mengarahkan penanganan dan usahanya ke tujuan yang tepat, tanpa petunjuk, berupa pembenaran atau bimbingan dari siapa pun.” Sifat ini hanya sempurna disandang oleh Allah swt.


(99) Ash-Shabuur (Maha Sabar)

Yang tak tergesa-gesa menurunkan siksaan bagi hamba-hambaNya yang berduka. Dari kitab Asmaul Husna, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, satu dari sekian nama Allah adalah Ash-Shabuur dalam bentuk mubalaghah atau mengandung arti sangat.

Kesabaran Allah berbeda dengan kesabaran makhluk dan tiada yang bisa menandingi kesabaranNya dalam hal apapun, sebab:
  1. Karena kesabaranNya bersumber dari KekuatanNya yang utuh. 
  2. Karena Allah tidak pernah dan tidak perlu khawatir untuk tidak mendapat pertolongan, sebab berkait dengan asma Allah Al-Qayyum Maha Berdiri Sendiri. Sementara makhluk sangat tergesa-gesa karena ketakutan dan ingin segera mendapat pertolongan.
  3. Karena kesabaranNya tidak diikuti oleh kesedihan, dendam, rasa kesal dan merasa kekurangan.
Dari Abu Musa bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada yang lebih sabar dari Allah atas cemoohan yang didengarnya. Mereka mengatakan Allah memiliki anak, namun Allah tetap memberi kesehatan dan rezeki kepada mereka.” (HR. Bukhari, no.7378)

Kesabaran Allah benar-benar terlihat saat kesabaranNya dikaitkan dengan kekafiran hamba-hambaNya, kemusyrikan dan cacian mereka. Allah tiada sesegera mungkin menjatuhkan siksa dan adzab kepada mereka. Allah sabar atas tindakan hambaNya, menunda siksaNya, memberi tempo peluang untuk memperbaiki diri dan Allah berlaku sangat lembut kepada mereka. Hingga pada suatu saat sudah tidak ada lagi kemungkinan bagi mereka, dan tidak lagi ada alasan untuk ditangguhkan, dikasihani dan ditarik kembali, baik melalui pintu ihsan dan nikmat maupun pintu bala’ dan niqmah (siksaan)... maka Allah adzab mereka sebagai adzab dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Adil. Setelah Allah cukup memberikan maaf dan toleransi, juga sekian banyak memberi nasihat dan menyeru mereka dengan berbagai jalan.

Allah subhanahu wa ta’ala sangat menyenangi nama-nama dan sifat-sifatNya. Dan Dia sangat senang jika atsar (bekas-bekas) sifat-sifatNya muncul pada hambaNya. Dia adalah Dzat yang indah dan menyenangi keindahan. Dia Maha Pengampun dan menyukai orang yang pengampun. Allah Maha Sabar dan menyukai orang yang sabar.













Comments

Popular posts from this blog

OLAHRAGA SAAT HAMIL

17 Pertanyaan Seputar Perkembangan Ibu dan Janin dalam Kandungan

Cara Merawat Bayi Yang Baru Lahir